Perubahan UU Otsus Papua Untuk (Si) Apa?

Minggu, 01 Agustus 2021 – 08:51 WIB
Ilustrasi: Ditjen KPI Kemenkominfo

jpnn.com - Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan perwujudan pengakuan negara atas kekhususan Papua.

Pada usia hukumnya yang menginjak tahun kedua puluh, undang-undang yang dikenal sebagai UU Otsus Papua ini mengalami perubahan untuk kedua kalinya.

BACA JUGA: Guspardi Gaus: Semua Fraksi Satu Suara Soal Revisi UU Otsus Papua

Pertanyaan pertama adalah perubahan ini untuk apa? Lantas disambung dengan pertanyaan reflektif, yakni untuk siapa?

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal 18B ayat (1), menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

BACA JUGA: Memperkuat Jati Diri Bangsa dengan Bersatu Padu Hadapi Pandemi

Amanat inilah yang lantas dijalankan negara sejak tanggal 21 November 2001 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui UU Otsus Papua. 

Dinamika politik saat itu yang berpangkal pada perihal Hak Asasi Manusia mendasari semangat dasar otonomi khusus, yakni keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua.

BACA JUGA: Demokrat Papua Mengkritisi Revisi UU Otsus dan Pelabelan Teroris untuk KKB

Per tanggal 18 Juli 2021, Presiden Joko Widodo melanjutkan pembangunan kesejahteraan di Papua dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Orang Asli Papua dan Keterwakilan Perempuan

Terdapat 20 pasal yang diperbarui dengan menggarisbawahi peran dan kedudukan Orang Asli Papua.

Perinciannya mencakup urusan kewenangan khusus, bentuk-bentuk pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Majelis Rakyat Papua (MRP), pemerintah provinsi, partai politik, keuangan atau pemanfaatan dana bagi hasil migas, perekonomian, pendidikan, kesehatan, pengawasan, dan lain sebagainya.

Misalnya dalam urusan kewenangan khusus, dahulu hanya diberikan kepada provinsi, tetapi sekarang diberikan juga kepada provinsi dan kabupaten/kota yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak hanya itu, aspek keterwakilan perempuan juga menegaskan keberpihakan negara kepada perempuan Papua.

Menurut Pasal 6, anggota DPRP yang diangkat berjumlah sebanyak satu per empat kali dari jumlah anggota DPRP yang dipilih.

Pemerintah menambahkan dalam penjelasan bahwa yang dimaksud dengan satu per empat kali tersebut adalah dengan komposisi jumlah tiga puluh persen keterwakilan perempuan.

Dengan ketentuan ini, maka 225 Orang Asli Papua akan duduk di DPRK, yang mana 77 di antaranya adalah perempuan Papua.

Ini berarti bangku legislatif akan terisi oleh suara kepentingan perempuan Papua. Kedudukan perempuan dalam politik Papua tidak hanya sekadar sebuah kesempatan semata melainkan sudah menjadi kewajiban bagi perempuan-perempuan Papua untuk membuktikan diri dalam pemilihan umum legislatif nantinya.

Di samping itu, unsur Orang Asli Papua dijelaskan lebih lanjut adalah perwakilan masyarakat adat di wilayah provinsi dan tidak sedang menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya lima tahun sebelum mendaftar sebagai calon anggota DPRP.

Hal ini juga diimplementasikan ke dalam prinsip keterwakilan anggota Majelis Rakyat Papua.

Kedudukan Orang Asli Papua juga meningkat dalam kancah politik tingkat kabupaten/kota dengan jumlah kursi pengangkatan sebanyak satu per empat dari jumlah hasil pemilu Kabupaten/Kota. Ketentuan keanggotaan dalam DPRK ini mengadopsi secara mutatis mutandis ketentuan keanggotaan DPRP.

Ruang gerak partai politik dilakukan dengan memprioritaskan Orang Asli Papua. Menyangkut urusan seleksi dan rekrutmen, partai tidak lagi wajib, tetapi menjadi dapat meminta pertimbangan dan/atau konsultasi kepada MRP.

Perubahan ini, pada dasarnya, membawa angin segar demokrasi bagi dunia politik Papua ke depan.

Sumber Daya Alam untuk Orang Asli Papua

Keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua juga tampak jelas pada Pasal 36 tentang implementasi dana perimbangan yang dialokasikan dari bagi hasil sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas alam.

Alokasi anggaran terdahulu hanya untuk sektor pendidikan sebesar sekurang-kurangnya 30 persen, dan 15 persen untuk kesehatan, dan gizi.

Kini, pemanfaatan dana bagi hasil migas tersebut dialokasikan sebesar 35 persen untuk belanja pendidikan, 25 persen untuk belanja kesehatan dan perbaikan gizi, 30 persen untuk belanja infrastruktur, dan sepuluh persen untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat. 

Lebih dari itu, dalam urusan perekonomian, diatur bahwa dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Papua, wajib memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan keberadaan Orang Asli Papua. 

Presiden Joko Widodo mengajak seluruh bangsa Indonesia melihat satu abad Indonesia Merdeka pada tahun 2045 kelak.

Gagasan yang diutarakan presiden Republik Indonesia ketujuh itu memiliki arti tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang tertinggal untuk meraih cita-citanya. 

Untuk itu, pemerintah membaginya dalam lima aspek, yakni peningkatan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur di berbagai daerah, transformasi ekonomi, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi. 

Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan salah satu wilayah yang menjadi fokus pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur dan ekonomi berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. 

Afirmasi Orang Asli Papua 

Untuk pertama kalinya, undang-undang otonomi khusus mengalokasikan anggaran bagi pemberdayaan masyarakat adat.

Untuk pertama kalinya pula, otonomi khusus memperkuat keterwakilan Orang Asli Papua dari tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi.

Bahkan, untuk pertama kalinya, otonomi khusus telah memperkuat peran dan kedudukan perempuan-perempuan Papua di lembaga legislatif tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi. 

Revisi ini telah menempatkan Orang Asli Papua sebagai subyek yang memajukan dan meningkatkan martabat kemanusiaan Orang Asli Papua itu sendiri. Di samping menggenjot pembangunan infrastruktur, pemerintah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia dengan  pendidikan, kesehatan, gizi, dan pemberdayaan masyarakat adat. 

Lebih dari pada itu, UU Otsus Papua ini tengah membuka ruang bagi pemekaran wilayah yang sebenarnya mengakomodir permintaan dan  desakan masyarakat Papua yang merasakan bahwa selama ini implementasi otonomi khusus tidak optimal karena wilayah yang terlampau luas. 

Inilah komitmen Presiden Joko Widodo untuk pembangunan kesejahteraan di Papua yang diwujudkan pemerintahannya dalam upaya  menghormati, memegang erat, dan menjunjung tinggi martabat Orang Asli Papua, hukum adat, dan teritorialnya di atas warisan tanah Papua dan nilai luhur budaya masyarakat Papua. (*)

*Advertorial Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan (Ditjen IKP) Kemkominfo


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler