jpnn.com - jpnn.com - Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pihaknya masih membahas dasar permasalahan yang terkait dengan kebijakan relaksasi industri mineral.
Salah satunya soal kewajiban perusahaan pertambangan pemegang izin kontrak karya (KK) untuk membangun smelter guna mengolah semua hasil tambang sebelum diekspor.
BACA JUGA: Perlu Jalan Tengah Antara Industri dan Masyarakat
Kenyataannya, batas waktu lima tahun setelah penerbitan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Industri Mineral dan Batu Bara terlewati.
Namun, kewajiban itu belum tercapai. Demikian pula setelah pemerintah memberikan perpanjangan waktu tiga tahun.
BACA JUGA: Industri Lokal Keteteran Lawan Serbuan Baja Tiongkok
Luhut menilai, keterlambatan itu kesalahan pemerintah sebelumnya karena memberikan relaksasi tanpa memedulikan ketentuan undang-undang.
Kesalahan tersebut harus diluruskan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
BACA JUGA: Genjot Industri Domestik, BUMN Harus Diutamakan
Namun, harus ada jalan tengah yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha.
’’Kami tidak mau menghalangi kegiatan dari perusahaan-perusahaan yang ada. Tapi, kami juga tidak mau regulasi dan undang-undang negara tak diacuhkan,’’ jelasnya, Senin (9/1).
Karena itu, Luhut mengisyaratkan bakal mengakomodasi perusahaan untuk tetap mengekspor asal berjanji membangun smelter.
Sanksi tegas akan diterapkan bila perusahaan tidak memenuhi ketentuan. ”Tunggu saja keputusannya besok (hari ini),” katanya.
Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menambahkan, ada beberapa poin yang diharapkan pelaku usaha. Pertama, pemerintah semestinya tidak perlu khawatir untuk menerbitkan peraturan pemerintah.
”Tetapi, pemerintah juga harus menghormati kesepakatan yang ada di dalam KK,” katanya.
Kedua, syarat-syarat dalam ketentuan yang sedang dirumuskan pemerintah semestinya lebih mempertimbangkan keberlangsungan pelaku usaha pertambangan ke depan.
Informasi yang berkembang menyebutkan, izin perusahaan kontrak karya wajib berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Aturan tersebut semestinya perlu dikaji lebih dalam.
”Ini terlihat sangat tergesa-gesa karena pembahasan PP ini sebenarnya sangat tertutup. Seharusnya melibatkan pelaku usaha yang terdampak. Selama ini belum dilibatkan. Pernah ada rapat, tapi itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan,’’ urainya.
Hendra mengimbau pemerintah lebih bijak dalam merumuskan syarat-syarat yang tengah digodok.
Dengan keputusan yang jelas tanpa mengesampingkan pelaku usaha, diharapkan ada kepastian bagi dunia usaha.
”Kalau izin ekspor dilarang, akan ada potensi penerimaan negara yang hilang, lapangan pekerjaan puluhan ribu orang akan hilang juga. Sebab, beberapa daerah di tanah air pembangunannya sangat bergantung dengan sektor pertambangan. Sepertinya lebih banyak mudarat daripada manfaatnya,’’ katanya. (bil/dee/c11/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kenaikan Harga Baja Industri Hilir Lebih Tinggi
Redaktur & Reporter : Ragil