Perusahaan Smelter Nilai Pemerintah Tak Konsisten

Kamis, 08 September 2016 – 09:11 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Perusahaan yang hampir dan sudah menyelesaikan pembangunan smelter atau pengolahan dan pemurnian mineral menilai, pemerintah tidak konsisten dengan kebijakan hilirisasi pertambangan.

Keresahan itu disampaikan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) melalui sebuah konferensi pers kemarin. Usulan pemerintah membuat investor mulai tidak nyaman.

BACA JUGA: BCA Anggap KPR Tumbuh 10 Persen Sudah Bagus

Apalagi, dukungan relaksasi hanya datang dari segelintir perusahaan. ’’Kami menolak,’’ ujar Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso di Pomelotel Patra Kuningan, Jakarta, kemarin.

Kementerian ESDM telah berancang-ancang memberikan relaksasi ekspor komoditas mineral, terutama konsentrat. Pelonggaran sebenarnya sudah diberikan dengan menunda larangan ekspor mineral mentah hingga 2017.

BACA JUGA: Bisnis Digital Bikin Pendapatan Telkomsel Naik 47 Persen

Asalkan telah menunjukkan iktikad membangun smelter. Namun, Kementerian ESDM tengah berencana memperpanjang pelonggaran itu.

Jika Kementerian ESDM masih memaksakan relaksasi, Prihadi menyindir konsistensi pemerintah terhadap UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara.

BACA JUGA: BNI Target Penyaluran KPR Tembus Rp 38 Triliun

Dia mengatakan, 22 perusahaan dalam AP3I sudah percaya dengan kebijakan hilirisasi sehingga mau kerja keras untuk menyelesaikan smelter. Jika tiba-tiba pemerintah mau memberikan relaksasi, itu menyakitkan.

’’Bagaimana investor mau masuk kalau pemerintah tidak melindungi industri yang sudah ada?’’ tanya dia.

Menurut Prihadi, relaksasi yang mengancam pasokan dalam negeri tidak perlu diindahkan. Malah, pemilik perusahaan dengan fasilitas pemurnian harus diberi insentif seperti infrastruktur di daerah.

Dewan Pembina AP3I Alexander Barus yang juga chief executive officer Tsingshan Bintang Delapan Group menyatakan, lima tahun lalu dirinya berhasil meyakinkan investor asal Tiongkok untuk membangun fasilitas di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Perusahaan sudah berinvestasi USD 6 miliar untuk dua smelter. Keyakinan itu terbangun karena ada UU Minerba yang meminta adanya hilirisasi. Apalagi, saat peresmian smelter di Morowali oleh Presiden Joko Widodo, ada kepastian tidak adanya relaksasi.

’’Siapa lagi yang bisa dipercaya selain presiden. Kini investor resah karena bank menanyakan kelanjutan proyek,’’ ucapnya.

Dia juga merasa aneh dengan perusahaan yang meminta adanya relaksasi dengan alasan cash flow buruk. Di AP3I, sebelum membangun smelter sudah memiliki equity dan kerja sama dengan bank.

’’Rasional bisnisnya tidak bisa seperti menyanggupi membangun smelter, lalu minta ekspor supaya ada duit,’’ tuturnya.

Terpisah, di kantor Antam, Dirut Tedy Badrujaman mendukung rencana relaksasi karena bisa memberikan nilai tambah bagi pemasukan negara. Jika ekspor diperbolehkan, perusahaan siap mengekspor bijih nikel 15–20 juta ton pada 2017. ’’Kalau ekspor bijih nikel dibuka, Antam bisa menguasai pasar ekspor ke Tiongkok,’’ ucapnya.

Ekspor, menurut dia, tidak perlu dilarang karena pasti ada komitmen untuk dalam negeri. Di BUMN Pertambangan itu, kualitas bijih nikel yang tertinggi dijanjikan untuk pasar dalam negeri.

Sedangkan kadar rendah yang tidak termanfaatkan diekspor ke Tiongkok yang saat ini disebutnya dikuasai Filipina.

Direktur Keuangan Antam Dimas Wikan Pramudhito menambahkan, perusahaan mempunyai cadangan dan sumber daya nikel mencapai 988,30 wet metrik ton (WMT).

Untuk kadar tinggi ada 580,2 juta WMT dan sebanyak 48,1 WMT bijih nikel kadar rendah. ’’Kalau diekspor, ada kontribusi pendapatan sampai 30 persen dari total pendapatan perusahaan,’’ katanya.

Pemerintah masih condong ke arah pemberian relaksasi. Caranya, lewat revisi UU Minerba yang diharapkan selesai pada akhir tahun. Jadi, ekspor konsentrat yang berakhir pada Januari 2017 bisa terus berlangsung. ’’Kasih waktu 3–5 tahun. Masih dikaji,’’ ujar Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan.

Memang, tidak semua komoditas membutuhkan relaksasi karena yang paling tidak siap adalah tembaga.

Namun, dia ingin revisi nanti tidak hanya menguntungkan beberapa perusahaan. ’’Jadi, jangan berpikir ini untuk Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara saja,’’ tegasnya. (dim/c19/sof/jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Barata Indonesia Gandeng Perusahaan Asal Jerman


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler