jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan lobster yang berpangkal pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.) masih mengedepankan pengiriman benih bening lobster (BBL) ke luar negeri.
Kebijakan ini banyak mendapat pertentangan dari nelayan dan pembudi daya di dalam negeri karena dianggap hanya menguntungkan segelintir elite bahkan terindikasi merugikan negara.
Perwakilan Nelayan Lobster Amar Takdim Souwokil angkat bicara terkait ini.
Dia mengendus banyak monopoli yang dilakukan perusahaan joint venture dengan Vietnam terkait ekspor BBL.
BACA JUGA: Benih Lobster Rp 22,2 Miliar Gagal Beredar ke Luar Negeri
“Kami menyikapi adanya dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan, red) bersama perusahaan eksportir BBL yang terkesan monopoli dan berkedok budi daya,” ucap Amar, Sabtu (28/9).
Menurut dia, dari kuota tangkap 493 juta BBL di perairan Indonesia sekitar 9,8 juta ekor BBL dalam kurun waktu 5 bulan sejak Maret hingga September 2024 terus dikirim ke luar negeri.
BACA JUGA: Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia Sambangi KPK, Begini Tujuannya
“Kami menduga ada sekitar 80 persen ekspor BBL ilegal berkedok budi daya yang diikat oleh regulasi dan 20 persen ekspor resmi negara. Namun, dari 20 persen BBL ekspor itu, perolehan PNBP hanya berkisar 16 persen saja karena sistem pembelian ke koperasi modusnya dua PO yang seharusnya satu PO,” ujar Amar Takdim.
Dia mencontohkan perusahaan mengirim surat permintaan kepada Badan Layanan Umum (BLU) dengan harga Rp 15 ribu, kemudian disetujui oleh BLU.
Namun, di balik itu, perusahaan juga menerbitkan PO baru lagi dengan permintaan ke koperasi nelayan dengan harga lebih tinggi atau Rp 18 ribu.
“Seharusnya hanya satu PO yakni PO dari BLU ke koperasi,” ujar Amar Takdim.
Dia menegaskan hal itu yang dikatakan monopoli dan ilegal yang dilakukan perusahaan ekspor BBL.
Amar yang juga Ketua Persatuan Aksi Nelayan Lobster Indonesia (Panelis) itu melakukan investigasi di lapangan mengenai kejanggalan dari berjalannya kebijakan ini.
“Dugaan penggelembungan saat ekspor itu terjadi, misalnya 1 kantong isi BBL sebanyak 1000 ekor, namun di dalamnya terdapat 2500-3000 ekor. Terjadinya hal demikian, karena PO diterbitkan dua, ada yang lewat BLU dan perusahaan langsung ke koperasi,” ungkapnya.
Atas dasar tersebut, Amar melaporkan hal ini ke Bea Cukai pada 11 September 2024.
Dia berharap Bea Cukai lebih fokus lagi mengawasi peredaran ekspor BBL ini.
“Seharusnya, Bea Cukai, Kepolisian dan BKIPM bongkar setiap kantong atau Bea Cukai standby di BLU saat dimasukan benih lobster tersebut ke kantong sebelum dikirim. Bila perlu, libatkan KPK dalam pengawasan. Supaya dugaan korupsi tersebut tidak terjadi,” ujarnya.
Namun, selama legalitas ekspor melalui Permen 7/2024, Bea Cukai belum melakukan pengawasan dan tidak bersinergi dalam mengawasi semua perusahaan yang mendapat izin ekspor BBL.
Menurut dia pengawasan Bea Cukai masih sangat lemah dalam peredaran BBL ke luar negeri.
“Strategi ekspor benih lobster ke Vietnam itu, tiga sistem yakni pertama; penggelembungan jumlah BBL dalam satu kantong dan pengiriman tidak dicegah atau tidak diperiksa di Bandara dengan alasan "kalau bongkar ulang, maka BBL bisa mati."
Kedua, kata dia, atas kelemahan Bea Cukai tidak melakukan kontrol jalur barang BBL keluar, maka kemudahan bagi perusahaan ekspor BBL untuk beraksi penggelembungan.
Ketiga, perusahaan ekspor mengirim benih lobster, tetap atas nama negara yang mestinya bisa dilakukan pencegahan.
“Bahkan, keterangan menyakitkan dari unsur Bea Cukai saat melaporkan masalah dugaan ini, berkata ‘kami harus koordinasi dengan KKP karena aturannya sudah legal’. Jika begitu, secara prinsip, Bea Cukai sudah abaikan kebijakan pengawasan yang merupakan tugas dan fungsinya. Mestinya, Bea Cukai mencegah terjadinya dugaan tindakan ilegal penggelembungan benih lobster,” pungkasnya.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari