Pesan Damai dari Pesantren Ruseifah, Banyak Lahirkan Ulama, Tak Pernah Mengkafirkan

Selasa, 06 Oktober 2015 – 16:45 WIB
FOTO: ENDRAYANI DEWI/JAWA POS

jpnn.com - PESANTREN Ruseifah memiliki banyak kemiripan dengan pesantren di Jawa, baik dalam tradisi, pelajaran, pemikiran, maupun adab. Mereka memegang prinsip untuk tidak pernah mengafirkan mereka yang berbeda pandangan. 

 
ENDRAYANI DEWI, Makkah 

BACA JUGA: Warga Rame-rame Naik Tank TNI, Kapan Lagi Pak Presiden?


BERADA di masjid kompleks Pesantren Ruseifah, Makkah, malam itu seperti sejenak diterbangkan kembali ke tanah air. Lir Ilir yang disenandungkan Sayyid Ahmad dan para santrinya di sela halaqah menjadi "mesin waktunya". 

Lir ilir, lir ilir, tandure wis sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon-cah angon, penekno blimbing kuwi. Lunyu-lunyu ya penekno, kanggo mbasuh dodotiro...

BACA JUGA: Duaaarr...Decak Kagum Pesawat Tempur TNI AU Menghancurkan Jantung Pertahanan Musuh

Syair penuh makna karya Sunan Kalijaga itu hanyalah secuil bukti eratnya temali relasi antara Pesantren Ruseifah dan Indonesia. 

Menurut Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alawy Al Maliki Al Hasani, nama lengkap sang pemimpin pesantren, hubungan itu sudah lama sekali terjalin.

BACA JUGA: Ketika Rusia - Amerika Jadikan Suriah Ajang Unjuk Kekuatan

Ayahnya, almarhum Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki, pada 1970-an sampai 1990-an sering menyambangi Indonesia. Karena itu, dia akrab dengan para habib dan kiai di tanah air, terutama di Jawa. 

Misalnya, Sayyid Alwi Al Idrus, KH Maimoen Zubair, KH Abdullah Faqih, dan KH Basori Alwi. Dia meneruskan jejak ayah dan kakeknya yang pernah mengajar ulama terkemuka Indonesia, salah satunya KH Hasyim Asy`ari, kakek Gus Dur. 

"Ada banyak pesantren yang telah dibuka ayahanda (di Indonesia, Red). Itu semua merupakan hasil dari saling  berkunjung dan silaturahim," tutur Sayyid Ahmad dalam halaqah selepas salat Magrib pada Senin lalu (28/9) yang juga diikuti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin itu.

Selain itu, saat ini sekitar 50 persen santri di sana berasal dari Indonesia, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari Jawa Timur, yang terbanyak berasal dari Madura.

Pesantren itu menonjol dalam penghormatannya kepada sesama. Ruseifah pun lebih mirip dengan kebanyakan pesantren di Jawa. Baik dalam tradisi, pelajaran, pemikiran, maupun adab.

"Di sini kami belajar adab. Kami tidak mengafirkan orang yang bertentangan dengan kami," kata Sayyid Ahmad dalam wejangannya saat halaqah.

Selain itu, lanjut Sayyid Ahmad, mereka yang bertentangan tidak dihinakan. Semua masalah diselesaikan dengan dialog. 

"Saya punya dalil, kalian punya, orang yang bertentangan dengan kita juga punya dalil. Usai berdialog, mari kita saling mencintai dan menghargai pendapat masing-masing," tuturnya.  

Yang sekarang dikembangkan di pesantren, menurut Sayyid Ahmad, adalah warisan dari ayahnya. Metode pembelajaran berasas kebaikan untuk seluruh umat manusia dan semua ciptaan Allah SWT.

Metode tersebut, lanjut dia, dibangun atas kebaikan kepada semua ciptaan Allah serta membersihkan diri dari  hawa nafsu. 

"Semuanya berdasarkan ilmu, karena berapa banyak musibah dan fitnah terjadi karena kebodohan. Dan kebodohan inilah yang telah menjadikan sebagian umat Islam menistakan dirinya dan berperilaku tidak sesuai  ajaran Islam," ujarnya.

Seperti sang ayah, Sayyid Ahmad merupakan pendakwah berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah atau biasa disebut Sunni. Di sisi lain, Wahabi adalah paham yang digariskan pemerintah Arab Saudi. 

Lantaran perbedaan paham itu, dia sempat mendapat tekanan dari pemerintah. Suatu kali, pada 2006, Sayyid Ahmad menggelar maulid nabi, peringatan kelahiran Nabi Muhammad, seperti biasa dirayakan sebagian besar umat Islam di Indonesia. 

Sepekan setelah acara yang dihadiri ribuan orang itu, dia dipaksa pemerintah meneken perjanjian agar tak lagi mengadakan maulid. Pemerintah berdalih kegiatan semacam itu adalah bidah (mengada-ada) karena tidak ada dalilnya dalam kitab suci. 

Sayyid Ahmad menolak meneken surat dari pemerintah. Dia pun menyampaikan berbagai argumen tentang pentingnya Maulid Nabi Muhammad. "Taruhan leherku, aku tidak akan menandatanganinya," tegasnya kepada aparat. 

Cerita tersebut disampaikan KH Muhammad Hasan Abdul Muiz, pengasuh pesantren di Bondowoso, Jawa Timur, yang pernah mondok di Ruseifah pada 2005-2013. 

Sejak itu, lanjut Hasan Abdul Muiz, orang-orang sepuh di Makkah menjuluki Sayyid Ahmad dengan sebutan anak singa. Julukan itu merujuk pada sikap ayahnya, Sayyid Muhammad bin Alawy, yang juga menolak tunduk terhadap tekanan Raja Fahd. 

Alasan kedekatan itu pula yang membawa Menteri Lukman ke kawah candradimuka para kiai Indonesia tersebut. 

"Dari pesantren ini telah banyak lahir lulusan yang saat ini menjadi ulama berpengaruh di Indonesia," kata Lukman.

Di antaranya, KH Maimoen Zubair, ulama terkemuka Indonesia yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang. 

Beliau adalah salah seorang santri Sayyid Alawy Al Maliki, kakek Sayyid Ahmad. Santri Mbah Maimoen kini tersebar di seantero Nusantara untuk berdakwah dan mengajar anak-anak bangsa. 

Nama-nama lain adalah KH Aufal Maram, KH Luthfi Basori, dan Habb Thahir Al Kaff. Mereka adalah sederet ulama Indonesia yang dahulu juga belajar di Ruseifah. Mereka menjadi santri Sayyid Muhammad, ayahanda Sayyid Ahmad.

Kedatangan Lukman disambut hangat oleh Sayyid Ahmad. Mereka sempat salat Magrib berjamaah sebelum dilanjutkan halaqah. 

"Wa idza qadima ahlus-siyasah fi ahli baitil ilmi wa tilka dalilun ala fadlli ahlis siyasah (Bila kalian melihat birokrat berada di rumah ulama, itu tanda adanya kebaikan pada birokrat tersebut, Red)," ujarnya. 

Menurut dia, menteri agama bak kemah yang harus bisa menampung siapa saja. Karena itu, Sayyid Ahmad berharap Lukman dapat menerima dan meluaskan dada kepada siapa saja, termasuk mereka yang bertentangan dengan dia. 

Ulama karismatis itu lalu mengalungkan serban hijau kepada Lukman. Lukman juga mendapat kitab Abwabul Faraj yang berisi kumpulan doa-doa yang ditulis Sayyid Muhammad. Bagi Sayyid Ahmad, memberikan hadiah kepada tamu yang datang adalah tradisi yang biasa dilakukan sang ayah. 

Sembari menepuk paha kiri Lukman yang duduk di sebelahnya, Sayyid tak lupa meminta Menag bisa menjadi contoh yang baik dalam dakwah Islamiah. 

"Kita tidak akan berubah dengan orang-orang yang bertentangan dengan kita," tuturnya.  

Untuk Indonesia, Sayyid Ahmad berharap negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia itu bisa segera bangkit dan mencapai kemajuan pada semua dimensi. 

"Terima kasih atas kunjungannya dan insya Allah kami akan berkunjung ke Indonesia," kata Sayyid Ahmad, lalu kembali menepuk-nepuk paha kiri Lukman.

Bagi Lukman, doa Sayyid untuk Indonesia adalah sebuah apresiasi dan menandai keterikatannya dengan Nusantara, kawasan tempat Lir Ilir yang dia senandungkan malam itu berasal. 

"Sudah lama sekali umat Islam dan ulama Indonesia merindukan kehadiran Abuya. Mudah-mudahan bisa segera direalisasikan," harapnya. (*/c10/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Putra Teknisi Twin Otter Aviastar yang Hilang Kontak: Jumat, Papa Pamit Berangkat Kerja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler