Pesan dari Kiai tentang Kejatuhan Jenderal akibat Malari

Senin, 15 Januari 2024 – 23:45 WIB
Jenderal Soemitro. Foto: reproduksi dari buku 'Soemitro, From Commander of Indonesian Security Aparatus' karya Ramadhan K.H.

jpnn.com - Malapetaka 15 Januari 1974 atau yang dikenal dengan akronim Malari membuat Jenderal Soemitro lengser dari jabatan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Pada saat itu, Pangkopkamtib merupakan jabatan prestisius, bahkan banyak kalangan menyebutnya sebagai posisi kedua setelah Presiden Soeharto.

BACA JUGA: Malari Membakar Jakarta, Antara Persaingan Elite Tentara dan Sentimen Anti-Tionghoa

Memang Soemitro dicopot dari Pangkopkamtib pasca-peristiwa Malari. Namun, Soeharto mempertahankan Soemitro di jabatan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Walakin, tak lama kemudian tokoh militer asal Probolinggo, Jawa Timur, itu memilih mengundurkan diri.

BACA JUGA: G30S, Front Kostrad Vs Halim, Mengapa Soeharto Tidak Diculik?

Ternyata Soemitro sudah pernah diingatkan soal kejatuhannya itu sebelum Malari.

Biografi ‘Soemitro’ tulisan Ramadhan K.H. mendedahkan pada suatu malam tentara kelahiran 13 Januari 1927 itu masih berada di kantornya.

BACA JUGA: G30S dan Skenario Awal Tanpa Darah Jenderal

Menurut Soemitro, ada Hisbullah Uda dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim yang datang menemuinya.

Soemitro mengaku mengenal Hisbullah karena sebagai tentara pernah menjadi Panglima Kodam Brawijaya.

Menurut Soemitro, saat itu Hisbullah mengaku membawa pesan dari Kiai As'ad Syamsul Arifin, ulama karismatik yang sangat dihormati nahdiyin.

“Beliau mengatakan bahwa Pak Mitro harus bertindak cepat. Jika Anda tidak melakukannya, Pak, Anda akan jatuh,” ujar Soemitro mengutip Hisbullah yang menyampaikan pesan Kiai As’ad.

Menurut Soemitro, memang dirinya sempat bertemu Kiai As’ad di Surabaya. Namun, ulama yang punya peran penting dalam pendirian NU itu tidak punya kesempatan berbicara dengan Soemitro.

Menurut Soemitro, saat itu Kiai As’ad hanya menatapnya. Orang Jawa menyebutnya nyondro atau mencermati pertanda pada wajah orang lain tanpa membicarakannya.

Oleh karena itu, Kiai As’ad mengutus Hisbullah. Sekali lagi, Hisbullah mendesak Soemitro segera bertindak.

Namun, Soemitro hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pesan dari Kiai As’ad. Jika memang akhirnya jatuh, Soemitro menganggap itu sudah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa.

“… dan saya akan menerimanya,” ucap Soemitro menirukan dialognya dengan Hisbullah.

Soemitro menuturkan dirinya juga tidak menerima laporan intelijen yang mengindikasikan kelompok Ali Moertopo berupaya mengganggunya.

Saat itu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani merupakan asisten pribadi atau aspri Presiden Soeharto, sehingga dikenal punya pengaruh.

Oleh karena itu, Soemitro merasa tidak perlu melakukan tindakan terhadap Ali Moertopo. Selain itu, Soedjono juga kerap tidur di kantor Kopkamtib bersama Soemitro.

Namun, Hisbullah bergeming. Dia terus menatap sahibulbait.

Utusan Kiai As’ad itu meragukan pernyataan Soemitro. Walakin, Soemitro tidak mau bertindak, apalagi terhadap mahasiswa.

Sampai akhirnya Soemitro memperoleh laporan tentang kondisi Jakarta. Barulah akirnya dia tersadar.

“Saya mulai curiga pada situasi itu,” katanya.

Jurnalis senior Panda Nababan mengisahkan situasi Jakarta pada 15 Januari 1974 benar-benar kacau.

“Sedikitnya 11 orang meninggal dunia, 17 orang luka berat, 120 orang luka ringan, 807 mobil dan 187 motor hancur berat karena dirusak atau dibakar, 145 gedung juga dirusak atau dibakar, dan 775 orang ditahan,” ujar jurnalis cum politikus itu dalam autobirografinya yang berjudul Jurnalisme Panda Nababan Menembus Fakta.

Menurut Panda, Malari dianggap sebagai ekses pergerakan Mahasiswa yang pada saat itu getol mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Namun, Panda juga menyinggung analisis tentang persaingan antar-elite militer -yakni Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani di satu kubu vis-a-vis dengan klik Wakil Panglima ABRI Jenderal Soemitro- sebagai pemicu Malari.

Ali dan Soedjono merupakan asisten pribadi atau aspri bagi Presiden Soeharto. Aspri dikenal punya pengaruh besar dan kondang dengan Operasi Khusus atau Opsus.

“Perseteruan dua kubu elite itu kemudian melibatkan berbagai elemen massa, termasuk mahasiswa, sehingga terjadilah chaos yang mengakibatkan jatuhnya korban harta benda dan jiwa,” tulisan Panda.(jpnn.com)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketidaksukaan Soeharto pada Keputusan Bung Karno soal Pranoto Pascaperistiwa G30S


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler