jpnn.com - Situasi Jakarta, 15 Januari 1974, benar-benar kacau. Sedikitnya 11 orang meninggal dunia, 17 orang luka berat, 120 orang luka ringan, 807 mobil dan 187 motor hancur berat karena dirusak atau dibakar, 145 gedung juga dirusak atau dibakar, dan 775 orang ditahan.
Itulah kesaksian politikus cum jurnalis Panda Nababan tentang peristiwa Malari, nama akronim dari Malapetaka 15 Januari.
BACA JUGA: Rizal Ramli dan Hariman Siregar Ditodong Preman di...
Jurnalis senior itu menuturkan kisah tersebut dalam autobiografinya yang berjudul Jurnalisme Investigatif Panda Nababan Menembus Fakta terbitan Q Communication pada 2009.
Menurut Panda, Malari dianggap sebagai ekses pergerakan Mahasiswa yang pada saat itu getol mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
BACA JUGA: G30S, Front Kostrad Vs Halim, Mengapa Soeharto Tidak Diculik?
Namun, Panda juga menyinggung analisis tentang persaingan antar-elite militer -yakni Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani di satu kubu vis-a-vis dengan klik Wakil Panglima ABRI Jenderal Soemitro- sebagai pemicu Malari.
Ali dan Soedjono merupakan asisten pribadi atau aspri bagi Presiden Soeharto. Aspri dikenal punya pengaruh besar dan kondang dengan Operasi Khusus atau Opsus.
BACA JUGA: Mengenang Sejarah Malari, Dari UI Hingga ITB
Adapun Jenderal Soemitro saat itu sebagai Wakil Panglima ABRI. Tokoh asal Probolinggo, Jawa Timur, itu juga mengemban jabatan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), sebuah posisi yang sangat berpengaruh.
“Perseteruan dua kubu elite itu kemudian melibatkan berbagai elemen massa, termasuk mahasiswa, sehingga terjadilah chaos yang mengakibatkan jatuhnya korban harta benda dan jiwa,” tulisan Panda.
Meski Malari pecah pada 15 Januari 1974, indikasi ke arah malapetaka itu sudah muncul jauh-jauh hari sebelumnya.
Awalnya, para mahasiswa yang menjadikan kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba, Jakarta Pusat, sebagai pusat gerakan, mencetuskan Petisi 24 Oktober 1973.
Petisi itu berisi empat tuntutan. Poin pertama petisi itu ialah meninjau kembali strategi demi menciptakan keseimbangan di bidang politik, sosial, dan ekonomi.
Kedua, membebaskan rakyat dari ketidakpastian hukum, korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Ketiga, refungsionalisasi lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat.
Kempat, penentuan masa depan adalah hak dan kewajiban generasi muda.
Petisi itu juga berangkat dari dari sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru yang memanjakan modal asing. Saat itu Jepang mendominasi investasi di Indonesia.
Suara kritis mahasiswa itu menemukan momentumnya ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung Jakarta pada medio Januari 1974.
Politikus Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang itu tiba di Jakarta pada 14 Januari 1974 saat hari sudah malam.
Keesokan harinya, mahasiswa berkumpul di Universitas Trisakti untuk bergerak menuju UI di Salemba. Saat mahasiswa bergerak itulah terjadi pembakaran.
Panda mengenang gedung Astra di Jalan Jenderal Sudirman tak luput dari sasaran amuk. Astra dianggap mewakili citra perusahaan Jepang.
“Uniknya, pelaku pembakaran dan perusakan sampai kini tetap menjadi misteri, apakah mahasiswa atau kelompok di luar mahasiswa yang ikut bergabung dengan massa, atau ada rekayasa tertentu yang bertendensi mendiskreditkan mahasiswa,” kenang Panda.
Kelompok Ali Moertopo pun tak luput dari tuduhan miring itu. Panda menuturkan pada saat itu Ali dianggap membuat gerakan balasan terhadap mahasiswa.
Namun, mahasiswa mengeluarkan pernyataan sikap pada 16 Januari 1974. Isi pernyataan itu mengutuk aksi anarkistis tersebut dan menyebutnya bukan bagian dari gerakan mahasiswa.
Walakin, pihak keamanan menuduh mahasiswa mau cuci tangan. Penguasa saat itu langsung melakukan operasi penangkapan besar-besaran yang menjaring 775 orang.
Panda memerinci di antara tokoh yang diciduk pascaperistiwa Malari ialah mantan Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI) Soebadio Sastrosatomo, Profesor Sarbini Soemawinata, pegiat hak asasi manusia (HAM) H.J.C. Princen dan Adnan Buyung Nasution, ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, hingga aktivis mahasiswa Hariman Siregar dan Julius Usman.
Saat itu Jenderal Soemitro memperlihatkan sikap tegasnya. ”Keadaan telah memaksa kami yang telah sabar sampai batasnya terpaksa bertindak tegas,” ujarnya sebagaimana dikutip Panda dalam autobiografinya.
Menurut Panda, fakta saat itu menggambarkan situasi nasional sedang dilanda berbagai isu, mulai masalah perekonomian awal Orde Baru, gerakan mahasiswa, arus penentangan modal Jepang, krisis pangan, sampai pertikaian antara kelompok Soemitro dengan kubu Ali Moertopo.
“Tidak hanya itu, surat kabar juga dianggap sebagai biang kerok meletusnya Malari karena liputannya gencar menentang modal asing, khususnya Jepang yang diangap arogan,” kisah Panda.
Adapun Retnowati Abdulgani-Knapp dalam bukunya, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, menyuguhkan kisah tentang demonstrasi yang awalnya memprotes strategi pembangunan, pada akhir 1973 justru mulai berubah menyuarakan tuduhan salah kelola atas kekayaan negara.
“Sasaran utamanya adalah kelompok penasihat presiden, para cukong, kroni, dan sanak saudara dari para penguasa. Ali Moertopo, Soedjono Hoemardano, Liem Sio Liong, Liem Bian Kie, dan bahkan Ibu Tien sendiri diserang terang-terangan,” kisah Retnowati.
Ali Moertopo yang menjadi sasaran pedemo mengingatkan para mahasiswa menghentikan demonstrasi yang saat itu marak.
Namun, Jendral Soemitro justru menemui para pedemo dan berorasi.
Soemitro pun dituduh memanfaatkan situasi politik saat itu demi memenuhi ambisi pribadinya.
Memang Soeharto bersedia menerima para mahasiswa pada 11 Januari 1974. Namun, pertemuan itu terlihat canggung.
Pada pertemuan itu, tutur Retnowati, mahasiswa mengemukakan keprihatinan mereka atas peran Aspri, keterlibatan para pejabat senior dan istri-istri mereka di dalam hubungan bisnis dan pemerintah dengan para pengusaha keturunan Tionghoa.
Namun, Soeharto saat itu hanya mengatakan Aspri tidak memiliki kekuatan eksekutif apa pun. Jawaban itu justru memanaskan mahasiswa yang kemudian memanfaatkan momentum kunjungan PM Tanaka.
Sehari setelah Tanaka tiba di Jakarta, para mahasiswa menggelar aksi di depan kantor Ali Moertopo. Mereka juga membakar boneka Soedjono Hoemardani.
Di situlah Jenderal Soemitro dianggap memberikan lampu hijau kepada para mahasiswa pedemo. Tokoh kelahiran 13 Januari 1927 itu dituduh memanfaatkan mahasiswa untuk menekan Presiden Soeharto, sekaligus menjauhkannya dari Ali dan Soedjono.
Menjelang sore, demo pada 15 Januari 1974 menjadi huru-hara. Mobil-mobil dan motor buatan Jepang dibakar, pertokoan dijarah.
Pusat perbelanjaan di Pasar Senen tak luput dari massa yang mengamuk. Di antara massa itu adalah anak-anak sekolah dan masyarakat di pinggir jalan.
Kantor pusat Astra sebagai dealer mobil Jepang juga dibakar hingga rata dengan tanah. “William Soerjadjaya, pemilik Astra, ditengarai memiliki hubungan dekat dengan Ibnu Sutowo dan Ibu Tien,” imbuh Retnowati.
Akhirnya PM Tanaka meninggalkan Istana Merdeka menggunakan helikopter pada 17 Januari 1974 saat Jakarta masih diliputi ketengagan. Namun, suasana saat itu sudah terkendali.
Kubu Ali sebagai pihak yang kerap dituduh melakukan Opsus menuding pendukung Jenderal Soemitro adalah orang-orang pro-Amerika yang berupaya menghentikan usaha negara membangun industri nasional.
Pada 28 Januari 1974, Aspri dibubarkan. Letjen Sutopo Juwono selaku kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) saat itu langsung dicopot.
Presiden Soeharto juga mengambil alih kepemimpinan Kopkamtib. Jenderal Soemitro pun kehilangan jabatan Pangkopkamtib.
Memang Soemitro tetap menjabat Wakil Panglima ABRI. Namun, akhirnya dia memilih mengundurkan diri.
Retnowati juga megutip Hariman Siregar sebagai tokoh mahasiswa yang ditangkap pasca-peristiwa Malari. Menurut Hariman, aksi demonstrasi itu tidak ada kaitannya dengan persaingan politik antara Jenderal Soemitro dengan kelompok Aspri Presiden Soeharto.
Hariman menegaskan motif sebenarnya ialah ketidaksukaan dan ketidaksetujuan para mahasiswa atas sikap sikap penanam modal Jepang yang cenderung memilih pengusaha keturunan Tionghoa sebagai mitra bisnis mereka dan mengabaikan pribumi.
“Peristiwa Malari merupakan reaksi terhadap perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh Liem Sioe Lion dan Bob Hasan -dua pengusaha keturunan Cina yang sudah dikenal Soeharto…,” demikian tertulis di buku karya putri RoeslanAbdulgani itu.(jpnn.com)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesan dari Kiai tentang Kejatuhan Jenderal akibat Malari
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi