Petani Karet Alih Profesi jadi Pemikat Burung

Senin, 13 Oktober 2014 – 07:45 WIB

jpnn.com - PASAMAN  - Petani karet di beberapa kabupaten di Sumbar semakin menjerit. Pasalnya, harga karet terus anjlok dan tak pernah kembali ke harga normal. Akibatnya, banyak penyadap dan petani karet alih profesi ke usaha lain.

Selain dapur yang tidak mengepul dengan stabil, anjloknya harga karet juga menyebabkan banyaknya pasar di beberapa daerah sepi dan minim transaksi, dan banyaknya petani karet yang alih profesi.

BACA JUGA: Hasyim Klaim Nilai A, PDIP Pilih Henry

Seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman, harga karet di kabupaten tersebut anjlok dari biasanya Rp 12 ribu per kilogram menjadi Rp 6 ribu per kilogram.

Di Kecamatan Mapattungul, saat ini masyarakat terutama bapak-bapak banyak yang mencari sampingan dengan memikat burung.

BACA JUGA: BMKG Prediksi Kemarau Sampai Pertengahan November

Seperti yang dilakoni Darwin, 53. Warga Kububaru, Nagari Muaratais, Kecamatan Mapattungul, Pasaman ini mengatakan, anjloknya harga karet tersebut sudah terjadi semenjak sebulan terakhir.

"Saya tidak tahu kenapa. Cuma toke bilang, harga anjlok karena dunia politik di Indonesia yang sedang panas. Ya kita berdoa setelah pelantikan presiden segera terjadi kenaikan harga," ujarnya.

BACA JUGA: Bentrok Warga di Lutra, 18 Rumah Terbakar

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Darwin ikut teman-temannya memikat burung ke dalam rimba. Kata dia, profesi ini ternyata cukup membantunya dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

"Burung saya jual ke toke. Harganya 10 kali lipat jauh lebih mahal dari harga karet sekarang ini," ujarnya.

Iman, 50, masyarakat lainnya juga menyebutkan hal yang sama, ia yang sehari-hari berkebun karet itu, dibuat kewalahan jatuhnya harga karet.

"Saat ini di hutan sedang musim burung berkicau. Harga satu ekornya bisa Rp 200 ribu. Jika dapat satu  atau 2 bisa bantu-bantu buat kebutuhan keluarga," ujarnya.

Di Kabupaten Sijunjung, harga karet Rp 6.500 per kilogram. Sama seperti di Pasaman, akibatnya masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari karet kesulitan memenuhi kebutuhan harian dan beralih profesi. Jika di Pasaman beralih profesi menjadi pemikat burung, warga Sijunjung beralih profesi menjadi penambang emas.

"Di sini (sijunjung, red) harga karet sudah jatuh sejak enam bulan lalu. Ini sudah terlalu lama dan membuat warga putus asa. Banyak masyarakat yang sekarang pergi menambang emas. Mereka berharap ada tambahan rezeki dari aktivitas itu," ujar Gukril, 52, petani karet dari Jorong Ranah Tibarau, Nagari Palangki, Kecamatan IV Nagari, kemarin.

Di Lintaubuo, Tanahdatar, keadaan tidak jauh berbeda. Rizki Syarif, tokoh pemuda setempat mengatakan, pada hari Balai (pasar, red), seperti Kamis, Jumat dan Minggu, ibu-ibu akan ramai berbelanja. Sejak harga karet anjlok, pasar lengang.

"Ibu-ibu hanya membeli bawang dan garam. Kadang-kadang, hanya dititip pada tetangga yang ke pasar. Sedangkan sayuran dan keperluan dapur lainnya diusahakan dari kebun, sungai, dan kolam ikan peliharaannya," ujarnya.

Dia menceritakan, sejak harga karet hancur, semarak pasar tidak ada lagi. Biasanya, saat hari balai, anak-anak menanti orangtuanya pulang dari balai dengan penuh harapan. Karena, sudah tradisi setiap hari balai anak-anak akan dibelikan jajanan khas pasar, seperti cendol, bubur, sate, dan lainnya.

"Sekarang harga karet hanya Rp 5.500 sekilo. Bisa berkirim bawang, cabe dan garam saja sudah syukur," ujarnya. (adi/wni)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kabut Asap Kacaukan Penerbangan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler