jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) makin gencar mengkritisi penghapusan TPG akibat tidak adanya PPG.
Menurut Ketum PB PGRI Unifah Rosyidi tunjangan profesi guru (TPG) adalah periuknya para pendidik.
BACA JUGA: BKH PGRI Optimistis MenPAN-RB Azwar Anas Tuntaskan Masalah HonorerÂ
Tidak bisa disamakan dengan tunjangan fungsional yang selama ini jumlahnya tidak seberapa dan dibebankan kepada Pemda.
Dia menegaskan upaya meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kualitas guru seperti disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam videonya
BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Nadiem Makarim soal TPG & PPG, Seluruh Guru Sebaiknya MenyimakÂ
“Kupas Tuntas Isu Kesejahteraan Guru dalam RUU Sisdiknas”, patut diapresiasi. Namun, PB PGRI memberikan beberapa catatan mengenai paparan tersebut :
1. Tidak ada penghargaan kepada guru
BACA JUGA: Guru PPPK Heran, TPG Kok Belum Cair, PNS Sudah Lho
Penghapusan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kemudian digabung dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional, sesuatu yang memprihatinkan karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi.
"Profesi lainnya diakui dalam sebuah undang-undang (UU) kok, kenapa guru enggak," kritik Unifah di Jakarta, Kamis (15/9).
Dia mencontohkan, UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran serta berbagai profesi lainnya.
Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas di seluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.
"Bagi kami UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru," tegas Unifah.
2. UU Guru dan Dosen dihapus, TPG juga bakal ditiadakan
Penghapusan TPG adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan. Tunjangan profesi bukan sekedar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru.
Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara. Menyangkut tunjangan profesi, memang dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan, “Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebelum undang-undang ini diundangkan, tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam pandangan PB PGRI, frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan”, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan.
'Jika Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan TPG, maka frasa “sebelum undang-undang ini diundangkan” harus dihapus," cetus Unifah.
Penghapusan itu lanjutnya sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multi tafsir serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi.
Lebih dari itu, PGRI mendesak Kemendikbudristek perlu menjelaskan secara secara jujur dan terbuka, mengapa muncul pemikiran untuk menghapus TPG.
3. Tunjangan fungsional dan TPG berbeda
Kemendikbudristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan untuk guru ASN akan mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berupa tunjangan fungsional. Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas. Hanya disampaikan secara lisan.
Selain itu, mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang.
Adapun TPG landasan hukumnya sangat kuat, yakni Pasal 16 Ayat (1) UU Guru dan Dosen, yang berbunyi, “Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik…”.
Kemudian pada Pasal 16 Ayat (2) ditegaskan, tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama.”Karena tidak dinyatakan secara tertulis, kata Unifah menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan fungsional untuk guru? Jika besaran tunjangan profesi diikat oleh undang-undang sebesar satu kali gaji, bagaimana dengan tunjangan fungsional? Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam undang-undang sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru.
Kekhawatiran ini ujar Unifah, bisa dipahami, karena ketentuan yang sudah tertulis secara tegas dalam undang-undang pun tidak dilaksanakan.
Misalnya, dalam Pasal 82 UU Guru dan Dosen dinyatakan, guru yang belum mendapat sertifikat pendidik wajib memiliki sertifikat pendidik paling lama 10 tahun sejak Undang-undang tersebut diberlakukan.
Artinya, persoalan sertifikat pendidik mestinya sudah selesai pada tahun 2015. Kenyataannya, Kemendikbudristek mengakui sampai 2022 masih ada 1,6 juta guru yang belum mendapat sertifikat pendidik.
"Jadi, siapa yang lalai dalam menjalankan amanat UU Guru dan Dosen? Begitupun janji untuk mengangkat satu juta guru PPPK, kenyataannya jauh dari pernyataan yang dulu disampaikan dengan sangat manis. Guru-guru kena PHP," cetusnya.
4. Nasib guru swasta nelangsa
Lebih memprihantinkan lagi guru-guru sekolah swasta. Pengaturannya akan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tidak ada lagi kekhususan untuk dunia pendidikan dan profesi guru, melainkan disamakan penghasilannya dengan buruh.
Selain itu, Kemendikbudristek mengesampingkan atau tutup mata terhadap kondisi sekolah swasta di Tanah Air.
Unifah mengungkapkan tidak semua sekolah swasta kondisinya baik secara ekonomi. Banyak sekolah swasta yang kondisinya memprihatinkan, tetapi dilandasi semangat pengabdian yang tulus para pengurusnya, mereka tetap memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.
Kemendikbudristek memang menjanjikan akan memberikan tambahan biaya operasional sekolah (BOS) kepada sekolah-sekolah swasta tersebut.
PGRI berpendapat BOS itu adalah anggaran dari peserta didik untuk peserta didik, penggunaannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah, bukan diperuntukkan bagi gaji guru.
5. TPG harus tetap ada, PPG dibuat mudah
PB PGRI meminta agar TPG tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam UU Sisdiknas. PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru.
Oleh karena itu PPG tidak dilakukan dengan metode yang rumit. Namun, melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru. Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan profesional.
Jadi, tambah Unifah, untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya TPG tidak dihapuskan. Sumentara, untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki.
Melalui kedua langkah tersebut, PGRI mengharapkan akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia.
Unifah mengingatkan pemerintah bahwa PGRI akan terus berjuang demi kemaslahatan guru. Sebab, PGRI memiliki berbagai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis, filosofis, akademis, dan empiris mengenai urgensi TPG bagi keberlangsungan profesi guru.
"Jujur dan terbukalah Mendikbudristek Mas Nadiem Makarim kepada kami para guru!," serunya. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad