PGRI Sebut Diskriminasi Guru Masih Terjadi, Ini Buktinya

Minggu, 02 Januari 2022 – 17:15 WIB
Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI Catur Nurrochman Oktavian. Foto dokumentasi pribadi for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI Catur Nurrochman Oktavian mengatakan bahwa diskriminasi guru masih terjadi di negeri ini. Menurut dia, diskriminasi itu salah satunya dirasakan  guru-guru yang sudah besertifikat pendidik dari Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Permendikbud Nomor 31 Tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia, pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. 

BACA JUGA: PGRI Minta Formasi PNS Guru Dibuka Lagi pada 2022 sampai 2023

Pada penerapan aturan itu, ujar Catur, sekolah SPK memperkaya proses pendidikan yang mendukung pendidikan nasional, dengan mengadakan mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, dan PPKN. Dalam penilaian delapan standar nasional pendidikan (SNP), sekolah SPK pun memperoleh nilai A. 

Sudah hampir dua tahun ini, kata Catur, guru-guru sekolah SPK dihentikan penyaluran tunjangan profesi guru (TPG) dengan terbitnya Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 18 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus bagi Guru Non Pegawai Negeri Sipil. 

BACA JUGA: Pernyataan Menohok PB PGRI soal PPPK Guru 2021, Ada Kata Setengah Hati

Persekjen Kemendikbudristek ini merupakan pengganti dari Persekjen Kemendikbud Nomor 6 Tahun 2020. 

Pasal 6 Ayat b mengecualikan pemberian tunjangan profesi kepada guru non-PNS yang menjalankan tugas di SPK. 

BACA JUGA: Ketum PGRI Minta Jangan Lagi Utak-atik Masalah Tunjangan Profesi Guru

"Sekitar 400-an guru terdampak kebijakan ini yang dihentikan haknya mendapatkan TPG sejak 2019," terang Catur dalam pesan elektroniknya kepada JPNN.com, Minggu (2/1).

Catur menyebutkan kebijakan ini dipandang para guru SPK merupakan diskriminasi atau pembedaan perlakuan terhadap guru non-PNS. 

Ada beberapa catatan kritis yang disoroti dalam beleid Kemendikbudristek terhadap guru-guru SPK ini. 

Pertama, sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), guru SPK sebagai guru non-PNS merupakan tenaga pendidik yang berkualifikasi sebagai guru dan tenaga profesional menjalankan tugas pada jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah. 

Kedua, TPG merupakan implementasi dari UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Perdirjen GTK Nomor 5745/B.B1.3/HK/2019 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus Guru Bukan PNS bahwa guru non-PNS yang memiliki sertifikat pendidik berhak memperoleh TPG.

"Sebanyak 421 guru SPK sudah mengikuti program sertifikasi guru dalam jabatan dan memiliki sertifikat pendidik sebagai bukti formal pengakuan guru sebagai profesi," bebernya. 

Atas pengakuan formal negara terhadap profesi pendidik itu, lanjut Catur, diberikanlah tunjangan profesi sebagai penghargaan negara terhadap profesionalitas dalam menjalankan tugas. 

Dengan memiliki sertifikat pendidik, para guru SPK berhak memperoleh tunjangan profesi sesuai anggaran yang ditetapkan pemerintah. 

Mereka secara formal sudah mengikuti ketentuan dan mengikuti proses yang dipersyaratkan dalam memperoleh sertifikat pendidik. 

"Kata 'pengecualian' pada beleid yang dikeluarkan Sekjen Kemendikbudristek nyata menuai polemik di kalangan guru SPK hampir dua tahun ini," ucapnya.

Sebenarnya, tambah Catur, para guru SPK mempertanyakan hal ini melalui berbagai jalur komunikasi sesuai konstitusi, dan di media cetak maupun online. 

Namun, kata dia, faktanya pengambil kebijakan tetap bergeming. 

Pengecualian pemberian tunjangan profesi guru bagi guru SPK yang didasarkan penilaian lima prinsip (efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan manfaat) pun tidak pernah teruraikan secara spesifik dalam penjelasan maupun lampiran peraturan tersebut. 

"Para guru SPK ini tidak menuntut terlampau banyak dan berlebihan. Mereka hanya memperjuangkan kemerdekaan hak TPG mereka yang sudah lama dihentikan," pungkas Catur. (esy/jpnn)

 

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : Boy
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler