Kaleidoskop 2024

PHK Massal, Rupiah Anjlok, hingga Teror PPN 12 Persen Menghantui Perekonomian

Selasa, 31 Desember 2024 – 06:30 WIB
Sepanjang 2024 perekonomian Indonesia penuh dengan berbagai gejolak, mulai dari PHK massal dari berbagai industri, penurunan daya beli, rupiah yang anjlok. Ilustrasi pekerja: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sepanjang 2024 perekonomian Indonesia penuh dengan berbagai gejolak, mulai dari PHK massal dari berbagai industri, penurunan daya beli, rupiah yang anjlok di atas Rp 16 ribu per USD, hingga kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan naik menjadi 12 persen.

JPNN.com telah merangkum berbagai peristiwa seputar perekonomian Indonesia, sebagai berikut:

BACA JUGA: Kaleidoskop 2024: Jajaran Mobil Baru yang Meluncur di Pasar Otomotif Indonesia

1. PHK Massal 2024

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2024 adalah 152,11 juta orang, naik 4,40 juta orang dibandingkan Agustus 2023.

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna mengungkapkan sekitar 80.000 ribu orang terdampak kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia sepanjang 2024.

BACA JUGA: Kaleidoskop 2022: Badai PHK hingga Resesi Global Jadi Ancaman Perekonomian

Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun lalu yang mencapai 60.000 pekerja di-PHK.

Hempri Suyatna mengungkapkan beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya angka PHK tahun ini, salah satunya adalah dampak dari pelemahan perekonomian global dan derasnya produk impor.

BACA JUGA: Kaleidoskop Ekonomi 2021: Jungkir Balik Perekonomian, Bangkit di Tengah Ketidakpastian

Hempri mengatakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor diduga menjadi penyebab maraknya produk-produk impor yang berakibat pada lesunya industri di tanah air.

Kontrol produk impor yang lemah membuat situasi perusahan-perusahaan lokal makin terpuruk karena deindustrialisasi.

Gelombang PHK, terutama di sektor manufaktur dan teknologi.

Kondisi ini juga terlihat dari data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di level 49,7 pada Juli 2024, menandakan adanya kontraksi di sektor manufaktur.

Selain itu, Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat deflasi sebesar 0,18 persen pada bulan yang sama, mengindikasikan penurunan permintaan barang dan jasa.

2. Penurunan Daya Beli

Ekonom Universitas Diponegoro Semarang Prof FX Sugiyanto mengatakan deflasi berkepanjangan yang dialami Indonesia merupakan dampak dari penurunan daya beli masyarakat.

"Dalam perspektif historis, deflasi berbulan-bulan itu baru memang baru pertama kalinya dialami," katanya, di Semarang, Senin (8/10).
Menurut dia, deflasi yang terjadi berdampak baik bagi masyarakat karena mereka bisa berbelanja dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.

Namun, jika deflasi terjadi terlalu lama bisa menjadi indikasi kuat bahwa masyarakat menahan untuk mengeluarkan uang atau daya beli masyarakat memang turun.

"Kalau (deflasi, red) terlalu lama bisa jadi indikasi kuat ini orang menahan duit mereka untuk belanja atau tidak punya duit. Nah, dua kemungkinan ini bisa terjadi. Ini saya didukung dengan data," katanya.

FX Sugiyanto menjelaskan jika dilihat dari kelompok penghasilan, 20 persen kelompok penghasilan tertinggi, 40 persen menengah, dan 40 persen dengan penghasilan terbawah atau termiskin.

3. Rupiah Makin Kalah dengan USD

Memasuki kuartal terakhir 2024, pelemahan rupiah makin dalam. Pada Desember 2024, nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp 16.000 per USD dan mencapai posisi terendah di level Rp 16.008,5 USD pada 16 Desember 2024.

Tekanan eksternal menjadi faktor dominan pada periode ini. Pasar mengantisipasi kebijakan The Fed yang diperkirakan akan tetap hawkish hingga 2025.

Selain itu, kenaikan harga energi global akibat konflik geopolitik turut memperburuk neraca perdagangan Indonesia.

4. Tax Holiday Sepi Peminat

Pemerintah terus menarik penghasilan dari pajak dengan memperpanjang ketentuan pengurangan hingga pembebasan pajak korporasi atau tax holiday.

Namun, terdapat sedikit peraturan, di antaranya tax holiday tidak berlaku untuk perusahaan asing atau korporasi multinasional.

Pemerintah menerapkan pajak minimum global 15 persen atau pilar kedua OECD.

Peraturan Menteri Keuangan No. 130/2020 menyebutkan insentif pajak itu semestinya berakhir pada 9 Oktober 2024 tetapi kini telah diperpanjang hingga 31 Desember 2025.

Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani menyatakan perpanjangan tax holiday tersebut baru saja disetujui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/2024 tentang Perubahan atas PMK 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

Tax holiday ditujukan untuk perusahaan di industri pionir yaitu yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

5. Teror PPN 12 Persen

Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025, Senin (16/12).

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyebutkan tarif PPN yang saat ini sebesar 11 persen masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

“PPN di Indonesia dibandingkan banyak negara di dunia masih relatif rendah. Kalau kita lihat baik di dalam negara-negara yang sama emerging atau dengan negara di region, mau pun dalam G20,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan, yang digelar di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Jakarta, Senin.

Namun, PPN 12 menuai kritik dari berbagai lapisan masyarakat karena dinilai tidak tepat dikenakan saat ini.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan seharusnya penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen jika kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat telah stabil. Menurut Esther, kenaikan PPN dirasa kurang tepat.

Karena itu, pemerintahan Prabowo Subianto ini perlu realistis untuk menunda kenaikan tarif PPN 12 persen itu.

"Menurut Teori Laffer, ekonomi tumbuh dulu baru tax revenue akan meningkat. Bukan tarif pajak dinaikkan maka ekonomi tumbuh," kata Esther dikutip, Jumat (27/12).

Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Darwoto meminta pemerintah untuk menunda penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Hal itu menurut Darwoto karena adanya PPN 12 persen itu bakal membebani ongkos produksi.

"Kami dari Apindo menyarankan supaya pemerintah menunda pemberlakuan kebijakan PPN 12 persen," Darwoto, Senin (30/12).

Dia menjelaskan meski bahan pokok tidak dikenakan PPN 12 persen namun barang lain dalam rantai produksi tetap terdampak biaya produksi, seperti bahan baku yang turut mengalami kenaikan atas pengenaan pajak dimaksud.

Darwoto mengingatkan kebijakan PPN 12 persen juga akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama untuk barang-barang premium seperti beras, buah-buahan, ikan, udang serta daging.

Begitu pula dengan layanan kesehatan premium di rumah sakit VIP, pendidikan standar internasional serta listrik untuk pelanggan dengan daya 3.600-6.600 Volt Ampere.(mcr10/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kaleidoskop 2022: Daftar Kenaikan Harga Barang yang Bikin Rakyat Menjerit


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler