MD La Ode, Ketua Umum Center Institute Of Strategis Studies (CISS) For National Resilience, melihat bahwa pelaksanaan Pilkada langsung harus bercermin kepada sistem Otonomi Daerah (Otda) yang dianut
BACA JUGA: Bawaslu Datang, KPU Mengaku Lega
Ia meyebutkan bahwa ada dua literatur terkait Otda, yakni sistem bertingkat dan titik beratPerbedaan dari kedua sistem ini, menurut La ode, ada di titik berat masing-masing sistem
BACA JUGA: PNS Terlibat di Belakang Layar
Jika sistem Otda bertingkat diletakkan di tingkat provinsi serta tingkat kabupaten dan kotaJika opsi jatuh pada sistem Otda bertingkat, menurut La Ode, maka Pilkada di tingkat provinsi serta tingkat kabupaten/kota dipilih secara langsung oleh rakyat
BACA JUGA: Golkar Tunggu Survey, Demokrat Tunggu Laporan DPD
Namun jika titik beratnya jatuh pada kabupaten dan kota, maka hanya bupati dan walikota yang dipilih secara langsung oleh rakyat, sedangkan gubernur dipilih Presiden melalui usulan DPRDTetapi sebaliknya, jika titik berat Otda jatuh pada provinsi, maka Gubernur dipilih secara langsung rakyat, sedangkan bupati dan walikota dipilih oleh DPRD kabupaten dan kota," terangnya.
Dalam kesempatan itu La Ode juga menyatakan perlunya revisi atas UU Nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahDalam aturan Pilkada pada pasal 107 UU Nomor 12 Tahun 2008 disebutkan, pasangan calon Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.
Apabila ketentuan itu tidak terpenuhi, maka pasangan calon Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari 30 persen ditetapkan sebagai pasangan pemenang pilkadaApabila ketentuan itu tidak terpenuhi, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan pemenang keduaPasangan yang memperoleh suara sah 50 persen lebih ditetapkan sebagai pemenang pilkada.
Menurut La Ode, ketentuan pasal yang menyebutkan 30 persen lebih suara sah menjadi pemenang pilkada jelas menyalahi literatur demokrasi"Dimana 30 persen itu berimplikasi suara minoritasKarena terdapat lainnya 70 persen rakyat lainnyaJadi dari 100 persen penduduk di daerah tersebut yang mempunyai hak pilih, hanya terwakili oleh 30 persen saja, sehingga 70 persen sisanya tidak menyetujui kepala daerah tersebut," ulasnya.
Karenanya La Ode mengusulkan revisi atas aturan ituSeharusnya, kata La ode, untuk keterwakilan seluruh lapisan masyarakat atau mayoritas bila putaran pertama ada pasangan calon yang memperoleh suara sah 50 persen lebih, maka bisa ditetapkan sebagai pemenang pilkadaJika belum ada yang memperoleh suara 50 persen lebih, maka pasangan calon Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua maju ke putaran kedua untuk memperebutkan suara sah persen lebih untuk menjadi pemenang pilkada.
"Sehingga bagaimana perjalanan demokrasi yang ada di Indonesia benar-benar mewakili suara rakyat, atau setidaknya suara mayoritas yang ada di masyarakat itu," pungkasnya.(oji/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Perlu Panwas untuk Awasi Pilkada
Redaktur : Tim Redaksi