Pilkada Susulan Bisa 2017, Salah Siapa?

Senin, 14 Desember 2015 – 00:29 WIB
Foto ilustrasi.dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Setelah mengalami penundaan, pelaksanaan pemungutan suara pilkada Kota Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, dan Kota Manado berpeluang dilakukan pada 2017.

Tepatnya, pada Februari 2017, bersamaan dengan sejumlah daerah lainnya yang ikut menjadi peserta pilkada serentak gelombang kedua.

BACA JUGA: Tjahjo Kumolo: Kita Tunggu Keputusannya seperti Apa

Peluang itu ada jika nantinya begitu keluar putusan PTTUN Medan yang memenangkan gugatan pasangan cabup-cawabup Simalungun JR Saragih-Amran Sinaga, tapi KPU Simalungun tidak puas dan mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Hal yang sama bisa terjadi jika PTTUN Medan memenangkan gugatan pasangan Survenof Sirait-Parlin Sinaga dan KPU Siantar mengajukan kasasi.Hal yang sama jika terjadi di kasus Manado.

BACA JUGA: Empat Tokoh Muda Ini Dinilai Layak Pimpin Sumut 2017-2022

“Kalau KPU mengajukan kasasi ya bisa 2017,” ujar anggota caretaker Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP)  Girindra Sandino kepada JPNN kemarin (13/12).

Terlebih lagi, lanjut, dalam kasus pilkada Gubernur Kalimantan Tengah yang juga tertunda, KPU juga mengajukan kasasi atas keluarnya putusan PTTUN  yang memenangkan gugatan pasangan calon Gubernur Ujang Iskandar-Jawawi. Begitu pun untuk kasus pilkada Fakfak, KPU juga mengajukan kasasi atas putusan PTTUN Makassar yang mengabulkan gugatan pasangan calon Bupati Fakfak, Papua, Donatus Nimbitkendik-Abdul Rahman.

BACA JUGA: Kemdagri Kaji Dugaan Pelanggaran ASN Selama Pilkada

Sebaliknya, jika pasangan JR Saragih-Amran Sinaga dan Survenof Sirait-Parlin Sinaga kalah di tingkat PTTUN, juga punya hak untuk mengajukan kasasi. Jadi, peluang pilkada kedua daerah itu lewat Desember 2015 sangat besar. Demikian juga untuk kasus Manado.

Penjelasan lain mengacu ketentuan di UU No 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota. Di sana diatur PTTUN punya waktu 21 hari untuk mengeluarkan putusan. Jika ada upaya kasasi, maka permohonan harus sudah disampaikan ke MA paling telat tujuh hari sejak keluarnya putusan PTTUN. Sementara, MA wajib mengeluarkan putusan paling telat 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.  KPU diwajibkan menjalankan putusan yang sudah inkrah dalam waktu paling lama tujuh hari.

Dengan demikian, jika KPU atau pasangan calon yang bersengketa mengajukan kasasi, maka sulit berharap pilkada Simalungun, Manado, dan Siantar bisa digelar Desember 2015. Sementara, sesuai ketentuan, tidak ada pilkada di tahun 2016.

Girindra Sandino mengatakan, jika pilkada tiga daerah itu, termasuk dua daerah yang lain yang juga ditunda, dilakukan pemungutan suaranya pada 2016, maka akan muncul masalah hukum baru. Begitu pun jika digelar pada 2017.

Alasannya, jika digelar 2016 atau 2017, akan menabrak ketentuan pasal 201 ayat 1 UU pilkada. “Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada, ditegaskan di situ bahwa pemunguatan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota yangmasa jabatannya berakhir tahun 015 dan Januari sampai dengan bulan Juni 2016, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember 2015. Jadi, kalau digelar 2016, bisa dipersoalkan secara hukum,” beber Girindra.

Bagaimana jika tetap digelar 2016 tapi disebut “pilkada susulan”? Girindra menjelaskan, di UU Pillkada disebutkan bahwa syarat pemilu susulan adalah jika terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya. Nah, Girindra bertanya, apakah adanya proses hukum itu termasuk dalam frase "gangguan lainnya"?

Menurutnya, jika KPU menafsirkan demikian, tetap saja bisa diperdebatkan secara hukum. Tapi menurut Girindra, proses hukum itu muncul juga disebabkan karena ketidakprofesionalan KPU dalam menjalankan tugas. Tepatnya, karena KPU tidak cermat dalam menjalankan tahapan pencalonan.

Dalam kasus pilkada Kalteng, lanjutnya, KPU tidak sejak awal mengklirkan masalah dualisme kepengurusan di PPP. Dalam kasus Kota Manado, KPU tidak memberikan definisi yang jelas terkait status bebas bersyarat. Dalam kasus Simalungun, KPU setempat tidak cermat melakukan verifikasi status hukum Amran Sinaga, dimana putusan kasasi MA sebenarnya sudah keluar September 2014, jauh hari sebelum tahapan pencalonan.

Sikap KPU di lima daerah yang pilkadanya tertunda itu, sesungguhnya sangat merugikan pasangan calon. “Mereka sudah kampanye, sudah keluar uang banyak, tapi hak politiknya dihilangkan oleh KPU,” ujar Girindra.

Tidak hanya itu, dampaknya bisa lebih luas lagi, dimana pemilih berpotensi menjadi malas menggunakan hak suaranya di “pilkada susulan” itu. Belum lagi soal tambahan anggaran karena harus mencetak surat suara lagi, surat undangan menyobolos (C6), dan sebagainya. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SIMAK NIH: Pesan Perwira TNI Untuk Pemenang dan Pendukung Calon Kepala Daerah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler