Tiga bulan setelah ia menjejakkan kakinya di Australia, Gabrielle menerima pesan singkat yang paling menyedihkan yang pernah ia terima.

"Opa meninggal," bunyi SMS yang ia terima dari kakak perempuannya.

BACA JUGA: Pakar Ingatkan Pentingnya Edukasi Fungsi Vaksin Sejak Ada Fenomena Joki Vaksin COVID-19

"Dan saya berada di sini, di seberang lautan, di negara asing, di sekolah baru, dikelilingi oleh bahasa yang tidak saya mengerti," ucap Gabrielle.

Saat itulah ia merasa begitu sendirian, karena saat berada di Indonesia ia dikelilingi oleh keluarga besarnya.

BACA JUGA: Australia Kekurangan Pekerja Esensial, Mereka yang Sempat Terpapar COVID-19 Boleh Kerja

Gabrielle adalah seorang remaja putri asal Kedungasri, Banyuwangi, Jawa Timur, di mana ia tinggal bersama kakak, kakek, dan neneknya.

Ibunya dulu bekerja di Bali yang kemudian menikahi pria Australia yang ditemuinya.

BACA JUGA: Wabah Omicron di Australia: Dari Pasokan Barang Terganggu Hingga Alat Tes Rapid Antigen yang Sulit Didapatkan

Bersama dengan Gabrielle, mereka kemudian menetap di rumah barunya di kawasan Streaky Bay, Australia Selatan.

Kota yang terletak sekitar 700 kilometer dari Adelaide ini menggantungkan perekonomiannya dari pertanian, industri perikanan dan juga pariwisata.

"Tempatnya sangat kecil, sepi dan sangat terisolasi," tutur Gabrielle.

Kalimat ini juga yang pernah diberitahu oleh ibunya saat ia diajak tinggal di Australia demi pendidikan yang lebih baik. Memiliki teman-teman yang peduli

Saat pergi ke Australia, Gabrielle merasa cemas meski tetap ada semangat dan tekad untuk hidup di negara barunya.

Berita kematian kakeknya membuat Gabrielle merasa lebih kesepian.

"Saat itu baru tiga bulan saya menjalani kehidupan baru saya di Australia dan saya bersembunyi di kamar mandi sekolah, sendirian."

"Saya bisa mendengar suara teman-teman berdiri di depan pintu kamar mandi dan bertanya 'apa yang terjadi?"

Susah menjelaskan apa yang terjadi, karena kemampuan bahasa Inggris yang masih terbatas saat itu.

Tapi Gabrielle mengatakan teman-temannya kemudian mengerti apa yang ia rasakan.

"Esok harinya ketika saya ke sekolah lagi, teman-teman membuat kartu yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia."

"Kelas terasa berbeda. Saya menyadari bahwa teman-teman sangat peduli dengan saya," katanya lagi. Upaya memperlancar bahasa Inggris

Pengalaman tersebut membuat Gabrielle ingin lebih giat belajar bahasa Inggris untuk bisa mendapat teman sebanyak mungkin.

"Saya banyak membaca buku, majalah, novel dan juga berbincang dalam bahasa Inggris dengan ibu saya di rumah."

Gabrielle juga mendapat kerja sambilan di sebuah kafe lokal, yang membuat ia semakin percaya diri.

"Sekarang tiga tahun sejak saya meninggalkan rumah saya di Banyuwangi, saya menjadi kapten olahraga di sekolah, dan presiden Dewan Perwakilan Sekolah," kata Gabrielle.

Jabatan kapten sekolah banyak diminati di sekolah-sekolah di Australia karena biasanya diperuntukkan bagi mereka yang berprestasi di bidangnya, sementara dewan perwakilan sekolah adalah organisasi semacam OSIS di Indonesia.

"Saya bangga dengan apa yang sudah saya perbuat dan tanggung jawab yang saya miliki," kata Gabrielle.

Sekarang Gabrielle berada di kelas 12, tahun terakhir di bangku sekolah menengah.

Ia berniat untuk melanjutkan studi kuliah jurusan perawat.

"Semua pencapaian ini berawal dari persahabatan dengan teman-teman saya di sekolah."

"Kebaikan hati sangat membantu saat kita jadi pendatang baru dan merasa khawatir."

Tahun lalu, Gabrielle menjadi salah satu pemenang program tahunan Heywire 2021.

Program Heywire adalah ajang bagi anak-anak muda di Australia, terutama yang berasal dari kawasan regional Australia untuk menyuarakan pendapat mereka.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari artikel yang ditulis Gabrielle di ABC Heywire  

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pakar COVID-19 Desak Agar Sekolah di Australia Mulai Pembelajaran Tatap Muka

Berita Terkait