Akhir tahun lalu, seorang pria asal Pinrang, Sulawesi Selatan ramai diberitakan sejak mengaku dirinya sudah divaksinasi 17 kali.
Dalam sebuah unggahan video, Abdul Rahim yang berusia 49 tahun, mengatakan menerima upah "antara Rp 100 ribu sampai Rp 800 ribu" untuk menjadi joki vaksin.
BACA JUGA: Vaksin Tidak Halal Digunakan untuk Booster, Pemuda Muhammadiyah Ingatkan Pemerintah
Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pinrang, drg Dyah Puspita Dewi, pria yang akrab disapa Rahim tersebut menjadi joki karena faktor ekonomi.
Ia mengatakan pernah berkomunikasi dengan Rahim ketika gelar perkara di kantor Polres Pinrang.
BACA JUGA: Australia Kekurangan Pekerja Esensial, Mereka yang Sempat Terpapar COVID-19 Boleh Kerja
"Dia memang suka mencari uang dengan cara yang seperti itu," ujar Dyah.
"Pekerjaannya serabutan, kapan ada kesempatan dia kadang berjualan, kadang menjadi kuli bangunan, karena dia sendirian hidupnya."
BACA JUGA: Sikap PBNU Tegas soal Vaksin Halal, Warga Nahdiyin Wajib Tahu
Pihak keluarga Abdul Rahim sempat melaporkan jika ia memiliki gangguan jiwa, namun drg Dyah mengatakan "pihak kepolisian menganggap ia sehat".
Polres Pinrang telah mengonfirmasi bahwa kasus Abdul Rahim kini sedang dalam proses penyidikan atas pelanggaran terhadap UU Wabah tahun 1984 "dengan ancaman hukuman maksimum satu tahun penjara", namun belum ditahan. Kurangnya edukasi soal fungsi vaksin
Selama pandemi di Indonesia, tidak hanya Abdul Rahim yang pernah menjadi joki.
Minggu lalu (06/01), polisi sempat mengamankan seseorang yang diduga joki vaksin di Banjarmasin Timur dan tiga orang joki karantina yang dibayar warga negara asing tahun lalu.
Warga di Indonesia sudah diperingatkan untuk "mewaspadai fenomena joki karantina".
Masdalina mengatakan fenomena ini mencerminkan adanya "permintaan" dari warga, selain juga menunjukkan kurangnya edukasi mengenai fungsi vaksin.
"Memang di awal-awal kita bukan mengarahkan atau mengedukasi masyarakat tentang fungsi vaksin, tapi lebih kepada membuat regulasi di mana mereka mau tidak mau dipaksa untuk vaksin," ujar Masdalina.
"Contohnya mereka tidak bisa pergi ke mal atau naik pesawat kalau tidak vaksin. Hal seperti itu sebenarnya masih jauh kaitannya dengan fungsi vaksin itu sendiri."
Melalui pemeriksaan laboratorium, drg Dyah mengatakan pihaknya menemukan "sepintas ada kekentalan darah lebih dari orang yang normal" pada tubuh Rahim yang sudah belasan kali divaksinasi, namun selain itu, kondisi fisiknya dinyatakan normal.
Ia mengatakan Rahim telah menerima jenis vaksin yang berbeda-beda, yaitu Sinovac, Pfizer dan Moderna. Vaksinasi di Indonesia masih hadapi kendala
Presiden Joko Widodo menargetkan vaksinasi di seluruh provinsi Indonesia mencapai angka 70 persen dosis pertama pada akhir tahun 2021.
Hingga awal pekan kedua di tahun 2022, 82,32 persen populasi penduduk Indonesia telah menerima dosis pertama, dan 56,49 persen mendapatkan dosis kedua vaksin COVID-19.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan drg. Widyawati, MKM mengatakan strategi vaksinasi COVID-19 di Indonesia "berjalan sesuai rencana".
"Kemarin mungkin sempat ada situasi di mana ada PPKM, mungkin ada warga yang tidak berani keluar rumah," ujarnya mengenai tantangan program vaksinasi di Indonesia.
Namun, dari total 34 provinsi, masih ada lima yang tingkat vaksinasinya belum mencapai 70 persen dosis pertama yaitu Sumatera Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat dan Papua.
Epidemiolog Masdalina Pane menganggap target vaksinasi yang ditetapkan pemerintah "tidak logis" mengingat WHO meminta negara-negara untuk memvaksinasi setidaknya 40 persen populasinya sampai akhir tahun lalu.
"Sudah ada hitung-hitungannya antara berapa banyak vaksin yang bisa diproduksi oleh negara-negara produsen karena vaksin itu enggak banyak dan Indonesia bukan negara produsen vaksin," katanya.
Selain itu, ia mengatakan salah satu masalah vaksinasi di Indonesia adalah ketersediaan vaksin di sentra vaksinasi, seperti di puskesmas.
Ini disebabkan, menurutnya, sistem nasional vaksinasi dasar yang sudah ada "selama lebih dari 30 tahun" tidak dipraktikkan dalam vaksinasi COVID-19 di lapangan.
"Mekanisme itu sudah ada, dibeli di pusat, siapa yang beli, kemudian didistribusi ke mana … prosedurnya sama, tapi sekarang tidak begitu," katanya.
"Yang terjadi sekarang … vaksin dikecer ke mana-mana … ternyata kalau dari cerita teman-teman di lapangan TNI dan Polri yang memegang vaksin itu … begitu juga pengusaha dan DPR." Vaksin 'booster' sudah tersedia gratis
Senin kemarin (10/01), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) resmi menerbitkan izin penggunaan darurat atau 'emergency use authorisation' (EUA) lima jenis vaksin COVID-19 sebagai 'booster'.
Vaksin COVID-19 yang meliputi CoronaVac, Pfizer, AstraZeneca, Moderna, dan Zifivax tersebut akan mulai diberikan secara gratis pada warga di atas 18 tahun dengan memprioritaskan kelompok usia lanjut dan penderita imunokompromais.
Masdalina menekankan pentingnya memastikan golongan penerima 'booster' adalah kelompok berisiko, seperti tenaga kesehatan, pelayan publik dan usia lanjut.
Menurutnya, minimnya pengetahuan vaksin masyarakat, hoaks, serta sistem dan ketersediaan vaksin masih menjadi tantangan vaksinasi COVID-19 di Indonesia setelah hampir dua tahun pandemi COVID-19.
Laporan tambahan oleh Sastra Wijaya
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wabah Omicron di Australia: Dari Pasokan Barang Terganggu Hingga Alat Tes Rapid Antigen yang Sulit Didapatkan