Pinjol: Euforia Presiden dan Derita Rakyat

Oleh: Lukman Hakim, Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)

Minggu, 17 Oktober 2021 – 23:05 WIB
Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Lukman Hakim. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Dalam Pekan Fintech Nasional 2020, Rabu (11/11) lalu Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa industri pinjaman online (pinjol) telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp128,7 triliun per September 2020. Naik 113 persen dibandingkan September 2019.

Presiden merinci terdapat 89 penyelenggara pinjol terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan berkontribusi Rp9,87 triliun pada transaksi layanan jasa keuangan. Kemudian sebesar Rp15,5 triliun disalurkan dalam penyelenggaraan financial technology equity crowdfunding berizin.

BACA JUGA: Berita Terbaru Penggerebekan Kantor Pinjol Ilegal di Cengkareng

Presiden memaknai sebagai sebuah perkembangan yang luar biasa. Meski masih di bawah rata-rata negara ASEAN.

Presiden pun merasa harus ditingkatkan dengan berbagai cara, termasuk dengan mendorong pemain pinjol melakukan peningkatan literasi keuangan digital.

BACA JUGA: Polda Jabar Hanya Menahan 10 Orang dari 89 Karyawan Pinjol yang Diciduk di Yogyakarta

Mengapa ada momentum yang sama Presiden tidak menyorot masalah sosial yang diakibatkan oleh pinjol? Padahal drama penderitaan rakyat akibat pinjol sudah ada sejak 5 tahun yang lalu tak lama setelah menjamurnya pinjol menyusul terbitnya Peraturan OJK Nomor 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. 

Presiden juga luput bahwa dana pemerintah untuk pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (LPDB KUMKM) masih sangat kecil yaitu hanya sebesar Rp 1 triliun.

BACA JUGA: Arief Poyuono: Enggak Perlu Kesal Menyikapi Pinjol, Kangmas Jokowi

Pun demikian anggaran untuk Kemenkop UMKM yang hanya Rp 3,2 triliun pada tahun 2022. Sangat jauh dibandingkan dana beredar dalam platform pinjol.

Oleh karena itu, pernyataan presiden pada saat itu dapat dirasakan sebagai sebuah kegembiraan (kalau tak boleh disebut euforia). Kegembiraan Presiden bukan tanpa alasan. Sebab, angka Rp 128,7 triliun memang angka yang fantastis di tengah realisasi penyaluran kredit perbankan yang minus 1,28 persen secara tahunan pada Mei 2021.

Dalam perspektif ekonomi liberal kapitalistik dana sebesar itu dianggap dapat berkontribusi positif pada perekonomian terutama dari aspek konsumsi.

Berdasarkan kajian Labor Institute tahun 2019-2020, 89 persen pinjaman online digunakan untuk kegiatan konsumsi. Hanya sedikit yang digunakan untuk modal usaha produktif.

Di balik besarnya uang yang beredar, nyatanya keberadaan pinjol telah menyebabkan masalah sosial yang serius. Bahkan sudah memakan korban jiwa setelah ada yang bunuh diri.

Belum lagi data pribadi nasabah bocor dan rentan disalahgunakan, hubungan keluarga dan pertemanan hancur, kehilangan pekerjaan dan seterusnya.

Presiden akhirnya menyadari setelah publik dan tokoh publik ramai membicarakan. Serangkaian rapat akhirnya digelar dan diikuti dengan kebijakan moratorium pinjol, penggerebekan kantor pinjol dan menghapus aplikasinya. Namun, itu tidak cukup.

Selain masalah sosial, pinjaman online juga bersifat menjerat dan eksploitasi serta tidak transparan dari segi asal permodalan dan penyelenggaraannya. Bukan tidak mungkin penyelenggaraan pinjol menjadi ajang tindak pidana pencucian uang.

Momentum Perbaikan

Sebagai solusi cepat atas masalah pinjol tak cukup hanya melakukan moratorium, meningkatkan literasi keuangan digital dan penindakan hukum atas pinjol ilegal atau yang bermasalah.

Negara harus terlebih dulu membebaskan seluruh nasabah yang terjerat utang pinjol di bawah Rp 10 juta.

Setelah itu dilakukan evaluasi menyeluruh dan tepat sebagai landasan membuat roadmap kebijakan keuangan berbasis teknologi informasi (TI) yang di dalamnya memuat ketentuan mengintegrasikan penyelenggaraan pinjaman online dengan kebijakan pemberdayaan koperasi UMKM Nasional. Menghimpun modal swasta dalam pinjaman online tersebut ke dalam badan atau konsorsium pembiayaan, bisa berbentuk Bank atau Koperasi.

Kebijakan di sektor ini harus menjadi bagian dari program pengentasan kemiskinan sehingga tidak parsial dan egosektoral.

Pertama, mencabut Peraturan OJK Nomor 77 /POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Kemudian menyusun aturan baru yang lebih baik dengan mensyaratkan adanya transparansi sumber modal pinjaman online atau seluruh kegiatan keuangan berbasis TI untuk menghindari praktik pencucian uang; mengharuskan penyelenggara kredit atau pinjaman online membangun dan atau memiliki mitra  usaha dalam bentuk komunitas usaha atau koperasi.

Selain itu, melakukan pendampingan usaha dalam bentuk peningkatan kapasitas usaha; melibatkan kementerian koperasi dan UMKM untuk memastikan pemberdayaan koperasi dan UMKM dapat berjalan baik.

Selanjutnya aturan itu juga harus memastikan data nasabah tetap aman dengan tidak menggunakan NIK, KTP dan KK sebagai syarat verifikasi dan validasi, tetapi melalui komunitas usaha dan atau koperasi.

Kedua, memberi kemudahan bagi rakyat untuk mengakses permodalan dengan bunga yang rendah dan terjangkau melalui platform digital baik perbankan maupun non perbankan disertai dengan pendampingan usaha.

Ketiga, secara simultan negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat sehingga rakyat tidak mudah terjebak pada iming-iming kemudahan sesaat untuk mendapatkan uang melalui pinjaman online.

Jadi, ini adalah momentum perbaikan yang harus diambil dengan cepat dan tepat oleh negara sehingga dampak positifnya akan terasa pasca pandemi nanti.

Jika tidak maka hanya akan mendaur ulang masalah. Euforia di atas, derita di bawah.(***)

 

Penulis adalah Wakil Ketua Umum PRIMA (Partai Rakyat Adil Makmur)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler