PKI dan TNI

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 01 April 2022 – 19:34 WIB
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Ilustasi. Foto: Ricardo

jpnn.com - Anak dan keturunan anggota PKI boleh mendaftar menjadi anggota TNI. 

Itu keputusan terbaru dari Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. 

BACA JUGA: Jenderal Andika Bolehkan Keturunan PKI Daftar TNI, TB Hasanuddin Bilang Begini 

Sebuah keputusan terobosan yang cukup berani, karena sudah pasti itu akan memantik pro dan kontra.

Komunisme masih tetap menjadi isu yang supersensitif di Indonesia. 

BACA JUGA: Jenderal Andika Bolehkan Keturunan PKI Daftar TNI, Nyarwi Ahmad: Dia Sosok Pimpinan yang Humanis 

Apa saja yang berbau komunisme pasti akan menjadi santapan empuk untuk menjadi bahan perdebartan yang tiada henti. 

Biasanya, isu-isu mengenai komunisme selalu muncul—atau dimunculkan—pada September sehingga lebih cepat merantak karena bertepatan dengan momentum peristiwa 30 September. 

BACA JUGA: Jenderal Andika Bolehkan Anak Keturunan PKI Daftar TNI, Slamet PA 212 Bereaksi Keras

Kali ini, isu itu muncul menjelang Ramadan, a perfect timing, waktu yang sangat tepat untuk memunculkan perdebatan mengenai komunisme versus Islam.

Apa pun isu yang berbau komunisme dan PKI selalu laris disantap menjadi kontrovesrsi. 

Tahun lalu, pemindahan patung diorama fragmen peristiwa 30 September di markas Kostrad memicu perdebatan luas secara nasional sampai berhari-hari. 

Isu yang berkembang adalah penyusupan faham komunisme di lingkungan TNI.

Kostrad (Komando Strategis Angkatan Darat) menjadi simbol perlawanan terdepan terhadap PKI pada peristiwa 1965. 

Dari tempat itulah Letjen Suharto menyusun strategi serangan balik melawan PKI yang dituduh berada di balik penculikan tujuh jenderal TNI yang antikomunis.

Dari markas Kostrad itulah, Suharto bersama Sarwo Edhie Wibowo merancang operasi penangkapan dan pengejaran tokoh-tokoh PKI. 

Di tengah kevakuman pimpinan Angkatan Darat akibat penculikan, Suharto muncul sebagai salah satu jenderal yang paling serius dalam mengambil alih kendali kepemimpinan dan melakukan serangan balik terhadap PKI.

Pembersihan dan perburuan terhadap PKI terjadi secara masif. 

Tentara di  bawah kepemimpinan Suharto berhasil memobilisasi rakyat, terutama umat Islam, untuk menjadi milisi perlawanan terhadap anggota-anggota PKI.

Kelompok Islam--yang secara ideologis menjadi musuh utama PKI dan sering menjadi korban agitasi dan kekerasan PKI—memanfaatkan momentum itu untuk memburu dan membersihkan anggota-anggota PKI.

Banjir darah terjadi di banyak daerah di Jawa dan Bali.  

Mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI dan simpatisannya diburu dan dan disembelih. 

Dalam waktu tidak terlalu lama PKI dibersihkan di level grass root. 

Pada level politik elite, Suharto berhasil mendapatkan mandat dari Presiden Soekarno melalui Surat Perintah 11 Maret 1966. 

Dengan surat sakti itu Suharto punya kewenangan untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang.

PKI bisa dihancurkan, dan sisa-sisa anggota maupun simpatisan yang lolos dari penyembelihan ditangkap lalu dipenjarakan ke kamp konsentrasi Pulau Buru.

Suharto mengamankan kekuasan dan dilantik menjadi presiden setahun kemudian.

Jenderal A.H Nasution yang menjadi ‘’the lone survivor’’ setelah selamat dari penculikan, menjadi ketua MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang melantik Suharto menjadi presiden. 

Nasution lebih senior dari Suharto, tetapi posisi politik dan militer Nasution kalah strategis dibanding Suharto. 

Secara psikologis Nasution juga ‘’down’’ karena putrinya, Ade Irma Suryani, yang barus berusia 5 tahun, tewas menjadi korban saat penculikan oleh PKI.

Suharto muncul menjadi ‘’lone warrior’’ yang menjadi panglima penghancuran PKI. 

Dia kemudian menjadi presiden mengggantikan Sukarno, yang tidak berdaya karena dianggap terlibat dalam penculikan jenderal oleh PKI. 

Sukarno diisolasi di Wisma Yaso sampai meninggal pada 1970.

Suharto menjadikan PKI sebagai legitimasi untuk mempertahankan kekuasan sampai 32 tahun. 

Berbekal ketetapan MPRS nomor 25/1966 Suharto menjadikan PKI sebagai partai terlarang, dan ajaran komunisme, masrxisme, leninisme juga dinyatakan sebagai ajaran terlarang. Sampai sekarang ketetapan itu masih tetap berlaku. 

Luka akibat peristiwa 1965 terus berlanjut sampai 32 tahun masa kekuasaan Orde Baru. 

Luka itu  sangat dalam dan sulit untuk benar-benar disembuhkan. 

Luka itu memecah bangsa Indonesia menjadi dua kubu yang sulit disatukan. 

Di satu sisi orang-orang yang pernah menjadi anggota PKI maupun simpatisannya merasa menjadi korban politik Orde Baru. 

Di sisi lain, umat Islam juga merasa menjadi korban kekerasan PKI di berbagai daerah, dan menganggap PKI sudah berkhianat kepada negara. 

Dua ideologi, komunisme dan Islam, ibarat minyak dan air yang tidak mungkin disatukan. 

Bung Karno ingin membuat ekspresimen sejarah. 

Dia ingin menggabungkan tiga ideologi menjadi satu bersama nasionalisme dalam bentuk nasakom, nasionalisme, agama, dan komunis.

Tiga ideologi besar itu paling dominan di Indonesia. 

Dengan menyatukan tiga ideologi itu friksi politik Indonesia akan bisa diselesaikan, dan persatuan Indonesia akan bisa dicapai. 

Begitulah gagasan Bung Karno ketika menemukan konsep nasakom. Bung Karno terkesan menyederhanakan masalah, dan dia keliru.

Nasakom ditolak oleh kalangan Islam. 

PKI sudah berkembang makin kuat setelah menjadi juara ketiga dalam pemuilu 1955 dan melihat Islam sebagai penghalang paling potensial. 

Lalu, muncullah jenderal-jenderal yang antikomunis yang  melihat PKI sebagai ancaman serius. 

Para jenderal yang dikomandoi oleh Ahmad Yani sebagai pimpinan Angkatan Darat terlibat persaingan dingin melawan Bung Karno yang semakin dekat dengan komunisme.

Kompleksitas persaingan politik sangat rumit ketika itu, sehingga sulit untuk menyebut siapa yang harus bertanggung jawab terhadap penculikan tujuh jenderal pada 1965. 

Suharto memanfaatkan kompleksitas itu dengan cerdik dan akhirnya muncul sebagai pemenang.

Suharto jatuh setelah berkuasa 32 tahun. 

Komunisme yang ditekan habis-habisan selama masa kekuasaan Suharto pelan-pelan mulai bangkit. 

Gugatan agar pemerintah meminta maaf terhadap kekerasan yang dilakukan terhadap PKI mengemuka. 

Namun, tantangan muncul dari kalangan Islam dengan sangat keras.

Berbagai kontroversi yang terjadi setiap kali muncul isu mengenai PKI adalah wujud dari luka lama yang belum benar-benar sembuh. 

Sudah pernah ada upaya untuk melakukan rekonsiliasi nasional. 

Sudah pernah muncul gagasan dari pemerintah untuk meminta maaf terhadap anggota dan simpatisan PKI yang manjadi korban Orde Baru. 

Namun, gagasan itu mendapat tantangan sangat keras dari kalangan Islam dan akhirnya mentah dan hilang.

Keputusan Jenderal Andika Perkasa untuk memperbolehkan anak dan keturunan PKI mendaftar ke TNI memantik kontroversi lama. 

Di satu sisi, keputusan itu dianggap sebagai terobosan yang bisa memulihkan hak-hak sipil anak dan keturunan PKI. 

Namun, di sisi lain keputusan itu tidak sensitif terhadap umat Islam, dan keputusan itu kental dengan warna politik.

Jenderal Andika mengatakan bahwa yang dilarang dalam Tap MPRS adalah PKI dan ajaran komunisme. 

Tidak ada larangan bagi anak keturunan PKI untuk menjadi apa pun yang diinginkan, termasuk untuk menjadi anggota TNI. 

Logika Jenderal Andika terasa sederhana, tetapi menusuk ke jantung kontroversi yang paling dalam. 

Selama ini TNI dianggap menjadi benteng pertahanan terakhir dalam perlawanan melawan komunisme. 

Sekarang, benteng itu sudah dibuka lebar-lebar, dan musuh yang dianggap paling berbahaya sudah diperbolehkan masuk.

Menihilkan ancaman komunisme dan menganggapnya sebagai masa lalu adalah kesembronoan. 

PKI mungkin tidak akan bangkit lagi. 

Namun, komunisme baru bisa saja menyusup melalui liberalisme dan sekularisme yang makin keras gelombangnya di Indonesia.  

Peran agama akan makin terpinggirkan dan liberalisme-sekularisme yang ditunggangi kelompok kiri ini akan makin kuat menancapkan berpengaruh.Keputusan Jenderal Andika Perkasa ini akan memunculkan rasa keterkalahan yang makin besar dari kalangan umat Islam. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler