jpnn.com, JAKARTA - Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) mengecam tembak di tempat yang tidak sesuai prosedur penggunaan senjata api oleh jajaran Polri dalam operasi penangkapan terduga pengedar narkotika.
Pelaksana Advokasi Hukum PKNI Alfiana Qisthi mengatakan penembakan merupakan suatu tindakan kepolisian yang hanya boleh diambil berdasarkan diskresi anggota Polri di lapangan apabila tindakan orang yang akan ditangkap ini membahayakan jiwa anggota polisi itu sendiri atau orang lain.
BACA JUGA: Buwas Sebut Bandar Narkoba Bekali Anak Buah dengan Senpi Organik
Menurut Alfiana, masalah ini juga sudah disampaikan mereka saat menghadiri undangan kegiatan “Ombudsman Mendengar” bersama organisasi masyarakat sipil lainnya seperti LBHM, HRWG, Amnesty International Indonesia dan ICJR, Senin (19/9) di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan PKNI, sejak Agustus 2016 sudah ada 15 kasus tembak di tempat di sejumlah daerah di Indonesia. Organisasi masyarakat sipil lainnya yang hadir juga memaparkan data serupa yang menunjukkan adanya kenaikan jumlah penembakan yang dilakukan oleh anggota Polri di lapangan.
BACA JUGA: Ungkap Kasus Pembunuhan, Polisi Dapatkan Benda Mengejutkan
Dia menjelaskan, istilah tembak ditempat muncul dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian sebagai tindakan yang diberlakukan terhadap tersangka demi melindungi nyawa manusia. Dan hanya boleh diberlakukan sebagai tindakan terakhir apabila tindakan keras lainnya tidak bisa dilakukan lagi.
"Mengenai prosedur penggunaan senjata api ini telah diatur dalam Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum yang disahkan dalam Kongres PBB Ke-8 di Havana tahun 1990," papar Alfiana dalam siaran persnya, Kamis (21/9).
BACA JUGA: Warga Serahkan 2 Senpi Produk Amerika ke Satgas Yonif 726
Alfiana juga menanggapi pernyataan Irwasum Polri Komjen Putut Eko Bayuseno yang mengatakan bahwa diskresi adalah kebijaksanaan anggota Polri di lapangan secara independen tanpa perintah.
"Jadi kalau penembakan di tempat ini dilakukan atas dasar perintah atasan, hal ini jelas menyimpangi makna diskresi. Kapolri bahkan presiden mestinya tidak bisa memerintahkan penembakan ini," katanya.
Koordinator Nasional PKNI Edo Agustian mengatakan, kejadian penembakan atas dirinya belasan tahun silam oleh Polisi.
"Saya ditangkap, mata saya ditutup, dibawa ke suatu tempat kemudian kaki saya ditembak hingga tulang kaki saya remuk. Tidak ada perlawanan dari saya. Saya mendengar bahwa mereka diperintahkan untuk menembak saya," ujarnya.
Edo juga menekankan, penembakan tanpa mengindahkan prosedur penggunaan kekerasan dan senjata api justru akan membuat citra kepolisian semakin lemah di mata masyarakat. Polisi sebagai simbol dari hukum yang hidup seharusnya menjadi garda terdepan untuk penegakan hukum yang humanis, bukannya menjadi simbol brutalitas," pungkas Edo.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perampokan Sadis! Wajah Lorinta Disetrum
Redaktur & Reporter : Boy