jpnn.com, JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Ciptaker disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (4/10).
Juru Bicara Fraksi PKS DPR Amin AK menyatakan, fraksinya telah banyak menerima masukan dan sikap penolakan dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari ormas Islam, pakar, dan aspirasi dari serikat pekerja serta konstituen.
BACA JUGA: Demokrat Tolak RUU Ciptaker Dibawa ke Paripurna, Hinca Panjaitan Beber Alasannya
“Maka Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan menolak RUU Ciptaker untuk ditetapkan sebagai undang-undang,” kata Amin membacakan pendapat akhir FPKS dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (5/10).
Amin menjelaskan secara khusus FPKS mengapresiasi ketentuan dalam RUU Ciptaker terkait kemudahan berusaha, yang apabila dijalankan konsisten dan konsekuen berpotensi menekan biaya berusaha di Indonesia.
BACA JUGA: Catatan Kritis Demokrat di RUU Ciptaker: Hak Buruh hingga Kemudahan Tenaga Kerja Asing
Amin mengatakan, pihaknya juga mengapresiasi Panja RUU Ciptaker Baleg DPR, yang telah menerima sebagian masukan FPKS mencabut pembahasan sejumlah UU yang mereka anggap memuat substansi bertentangan dengan semangat konstitusi.
Hanya saja, FPKS mengkritisi RUU Ciptaker baik secara formil dalam proses pembahasan. “Maupun secara substantif, yang kami nilai bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pada amendemen konstitusi,” ujar Amin.
BACA JUGA: Respons Arief Poyuono Soal RUU Ciptaker dan Rencana Mogok Nasional Buruh
Ia menambahkan, kebijakan RUU Ciptaker memuat substansi liberalisasi sumber daya alam yang dapat mengancam kedaulatan negara, melalui pemberian kemudahan kepada pihak swasta.
Selain itu, FPKS menilai RUU ini merugikan pekerja atau buruh di Indonesia, dan lebih menguntungkan pengusaha.
“Hal ini dicerminkan dari perubahan pasal-pasal yang berkaitan dengan hubugan kerja dan pesangon,” tegasnya.
Amin menambahkan, RUU ini memuat aturan yang berpotensi menciptakan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
RUU ini, kata dia, juga berpotensi membuka ruang untuk liberalisasi pendidikan.
Menurut Amin, pembentukan lembaga pengelola investasi atau LPI berpotensi bertentangan dengan konstitusi, dan supermasi hukum.
“Karena, substansi pengawasannya menutup ruang pengawasan dan audit Badan Pemeriksa Keuangan, serta memberikan imunitas bagi pengurus dan pejabat pengambil kebijakan,” ujarnya.
Ia menegaskan, ketentuan tersebut juga bertentangan dengan prinsip equality before the law, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Amin menambahkan, kebijakan terkait impor komoditas petanian, peternakan, perkebunan, termasuk pangan hingga pembukaan akses bagi kapal tangkap berbendera asing, tidak sejalan dengan kepentingan nasional dalam rangka perlindungan kepada petani, nelayan, serta kedaulatan pangan.
“Substansi RUU Cipta Kerja berorientasi kepada pelaku usaha besar dan penanaman modal asing daripada pemberian dukungan dan konsep kebijakan yang komprehensif bagi pengembangan dan pemberdayaan UMKM dan koperasi,” kata Amin.
Lebih lanjut Amin menyatakan, RUU Ciptaker memberikan kewenangan besar bagi pemerintah, tetapi tidak diimbangi sistem pengawasan dan pengendalian terhadap aspek penegakan hukum.
Selain itu, RUU Ciptaker mengatur bahwa maksimum kepemilikan bank umum syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
FPKS berpendapat, masalah kepemilikan bank terkait dengan masalah modal perbankan sebaiknya diberikan ke Otoritas Jasa Keuangan.
“Mengikuti peraturan atau UU otoritas yang selama ini oleh OJK,” pungkas Amin. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy