jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Pusat PMKRI Alfred Nabal mengatakan aksi razia buku secara ilegal di Indonesia merupakan salah satu bentuk pengekangan terhadap kebebasan intelektual. Razia buku, kata Afred, telah dimulai sejak tahun 1960-an.
Ketika itu, terbit Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Sejak aturan tersebut berlaku, pemberangusan buku-buku yang berpaham kiri secara masif dilakukan.
BACA JUGA: PMKRI Minta Presiden Bentuk TPF Usut Dugaan Diskriminasi Terhadap Mahasiswa Papua
Menurut Alfred, meskipun demokratisasi di Indonesia berhasil diwujudkan di tahun 1998, namun tidak berlaku untuk kebebasan intelektual. Buku-buku berpaham kiri tetap dilarang peredarannya di Indonesia, dan tidak mengizinkan pemikiran-pemikiran kiri masuk ke dalam ruang wacana intelektual di Indonesia.
BACA JUGA: PMKRI Minta Presiden Bentuk TPF Usut Dugaan Diskriminasi Terhadap Mahasiswa Papua
BACA JUGA: Pasca-Putusan MK, PMKRI: Saatnya Konsolidasi untuk Kemajuan Bangsa
Setelah diperjuangkan bersama oleh kalangan penulis, aktivis, pegiat literasi, dan akademisi, ruang kebebasan itu perlahan bisa diwujudkan.
“Baru pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan Penetapan Presiden Nomor 4/PNPS/1963 tidak berlaku lagi. Imbasnya, aparat tidak secara sembarangan menyita buku-buku di masyarakat. Razia hanya bisa dilakukan kalau pengadilan mengizinkannya,” ujar Alfred saat diskusi bertajuk Maraknya Razia Buku: Demi Stabilitas atau Bentuk Pembodohan?’ di Jakarta, Kamis (22/8).
BACA JUGA: Begini Seruan PMKRI Jelang Putusan Sengketa Pilpres di MK
Narasumber yang hadir dalam diskusi diselenggarakan oleh Lembaga Kajian, Penelitian, dan Pengembangan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) adalah Romo Setyo Wibowo dari STF Driyarkara, Natalius Pigai mantan anggota Komnas HAM RI, Miftah Fadhli dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat dan Halasan Simare-mare sebagai moderator.
Lebih lanjut, Afred menilai Keputusan MK ini ternyata tidak memberikan garansi bagi kebebasan intelektual di Indonesia. Tindakan razia buku ilegal masih banyak terjadi.
“Pelarangan beredarnya buku-buku kiri terjadi di banyak tempat. Padang, Yogyakarta, Pare, Jakarta, dan terakhir ini terjadi di Makassar. Ini tentu menjadi preseden buruk bagi bangsa kita,” kata Alfred.
Saat ini, budaya literasi kita sedang terpuruk. Hanya satu dari seribu orang Indonesia memiliki minat baca. “Pelarangan buku-buku untuk beredar di masyarakat malah memperburuk literasi kita hari ini,” katanya.
Lebih lanjut, Alfred mengkriti institusi negara yang masih ekstraktif terhadap kebebasan intelektual. Suatu negara menjadi besar karena instutusinya inklusif, terutama dalam hal kebebasan intelektual. Negara-negara besar seperti Inggris dan AS menjadi besar salah satunya karena sangat menghormati kebebasan intelektual.
“Razia ilegal buku-buku di Indonesia dan pembiaran yang dilakukan pemerintah hanya menunjukkan watak ekstraktif bangsa kita yang takut dengan perubahan,” papar Alfred.
Alfred berharap visi pembangunan sumber daya manusia yang dicanangkan Presiden Jokowi dalam lima tahun ke depan harus betul-betul menjadi komitmen besar pemerintah dan masyarakat Indonesia.
“Jangan dilakukan setengah-setengah (membangun SDM, red). Hal pertama yang harus dilakukan agar visi ini berhasil adalah menindak tegas siapa pun yang melakukan razia ilegal buku-buku di Indonesia,” kata Alfred.
Alfred menambahkan, PMKRI saat ini tengah melakukan petisi untuk menindak tegas para pelaku razia buku ilegal di Indonesia. Hingga saat ini, petisi ini ditandatangani oleh lebih dari 24 ribu orang dari berbagai kalangan.
“Kami berharap petisi ini ditanggapi positif oleh pemerintahan Jokowi dengan mengambil langkah tegas bagi para pelaku sweeping buku di Indonesia,” tegas Alfred Nabal.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anton Doni Dorong Penerapan Standar Tinggi Sistem Pendidikan
Redaktur & Reporter : Friederich