PNS Membengkak Dampak Kepentingan Politik

Minggu, 17 Juli 2011 – 09:49 WIB

JAKARTA --Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, sejak 2005 tidak ada hasil signifikan untuk menekan laju pertumbuhan jumlah pegawaiDalam pengadaan PNS, lanjut dia, pemerintah tidak memiliki perencanaan yang matang dengan rasio sesuai kebutuhan.

"Puncaknya adalah pengangkatan tenaga honorer secara masal sejak tahun 2005 yang hingga saat ini belum tuntas, yang jumlahnya mencapai 800 ribuan, bahkan cenderung membengkak tiap tahunnya," kata politisi PDIP, itu.

Menurut dia, pertumbuhan pegawai yang tidak terkontrol merupakan "buah" dari praktek pengelolaan kepegawaian yang berorientasi kepentingan politik kekuasaan dan mengabdi pada status quo

BACA JUGA: 60 Instansi Tak Rekrut CPNS Baru

"Jadi, tidak konsisten dengan reformasi birokrasi yang acap digembar-gemborkan pemerintah selama ini," kritiknya.

Arif lantas membandingkan pemerintahan SBY dengan pemerintahan Megawati
Dia menyebut secara komulatif pertumbuhan pegawai secara nasional sejak 2005 " 2011 rata-rata sebesar 3,9 persen.

Berdasarkan data Badan Kepegawaian Nasional (Pebruari 2011) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Mei 2011), lanjut dia, pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2007 sebesar 9,18 persen dan tahun 2009 sebesar 10,8 persen.

"Sedangkan, pada periode 2003 - 2004 (era Presiden Megawati, Red), pertumbuhan pegawai dapat ditekan menjadi minus 1,66 persen," kata Arif

BACA JUGA: Satgas Dorong Koruptor tak Diberi Asimilasi

Saat itu, ungkap dia, jumlah pegawai berkurang dari 3.648.005 pada 2003 menjadi 3.587.337 di tahun 2004
"Kalau pemerintah ini mau serius melakukan penataan pegawai belajarlah pada pemerintah tahun 2003-2004 itu," ujarnya.

Arif menyampaikan serangkaian kebijakan kepegawaian yang diambil pemerintahan Megawati cukup efektif

BACA JUGA: Banyak Daerah Bangkrut, APKASI minta perekrutan PNS ditunda

sebab, semua berangkat dari kerisauan pemerintah bahwa birokrasi pemerintahan seperti "keranjang sampah".

"Birokrat hanya melakukan apa yang menyenangkan bagi atasan dan sekaligus menyenangkan dirinya sendiri," tegasnyaDari sana, imbuh Arif, muncul kesadaran dan keberanian untuk mengurangi rekrutment pegawai baru"Megawati berani tidak populer dan efeknya sampai ke pemilu 2004," kata Arif.

Menurut dia, langkah moratorium penerimaan PNS yang diwacakan pemerintah saat ini berpotensi memicu masalahKarena tidak diikuti dengan penataan regulasi, penataan formasi kebutuhan antar instansi atau antar daerah berdasarkan prinsip efisiensi dan efektifitas struktur yang kaya fungsi"Saya khawatir wacana moratorium ini hanya akan melahirkan persoalan baru yang meresahkan kalangan birokrasi dan mengganggu pelayanan publik," kata Arif.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura RI Akbar Faizal menilai, meski terlambat, pilihan untuk melakukan moratorium PNS adalah pilihan tepatPNS saat ini seakan menjadi industri bagi kepala daerahMaksud pernyataannya, tidak jarang muncul pungutan-pungutan liar saat rekrutmen PNS berlangsung"Jangan lagi PNS ini menjadi alat kepala daerah," kata Akbar.

Akbar menyatakan, dengan APBN sebesar 1.240 triliun, hampir 70 persen beban anggaran digunakan untuk belanja pegawaiNamun, apakah sisanya untuk pengembangan infrastruktur? Ternyata tidak, ada sejumlah APBN yang pengunaannya masih lepas dari kontrol DPR"70 persen untuk belanja rutin, lantas berapa untuk rakyat langsung," sorotnya.

Jumlah PNS, kata Akbar, sudah terlalu banyakBeberapa daerah juga sudah terbebani APBD nya karena belanja pegawainya melebihi belanja modalAkbar menilai perekrutan besar-besaran ini disebabkan pemda selalu merasa kekurangan jumlah SDM"Karena pengangkatannya tidak berdasar kompetensi pegawai," nilainya.

Saat moratorium nanti, bagaimana dengan daerah yang masih kekurangan pegawai? Akbar menyatakan, persoalan itu bisa diselesaikan melalui distribusi pegawai"Mungkin kan sekarang banyak yang tidak mau diangkat (lalu dipindah) di Papua," ujarnya memberi contoh(pri/bay)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KY Ingin Berdamai dengan MA


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler