Polemik Kebijakan Penghapusan Penjurusan SMA

Oleh: Odemus Bei Witono - Direktur Perkumpulan Strada dan Kandidat Doktor Filsafat STF Driyarkara

Kamis, 19 September 2024 – 09:39 WIB
Direktur Perkumpulan Strada dan Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Jakarta Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Artikel kolom karya Fajar S Dwi Putra di Kompas (19 Juli 2024), berjudul "Penghapusan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa: Menggali Potensi Peserta Didik," memicu diskusi yang mendalam mengenai arah pendidikan Indonesia.

Di balik gagasan progresif ini, terdapat berbagai pertanyaan kritis tentang validitas dan dampak jangka panjangnya.

BACA JUGA: Tantangan dan Harapan Program Makan Gratis Bergizi

Kebijakan ini dilihat sebagai langkah revolusioner yang sejalan dengan Kurikulum Merdeka, membuka peluang eksplorasi minat dan bakat siswa tanpa belenggu struktur penjurusan yang kaku.

Namun, apakah keputusan menghapus penjurusan benar-benar solusi terbaik? Selama puluhan tahun, penjurusan telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan kita.

BACA JUGA: Ideal Pendidikan: Kultivasi Individu dan Kebaikan Publik

Pertanyaannya: apakah selama ini para akademisi gagal melihat kekurangan mendasar dalam sistem tersebut? Dan, jika sekarang dianggap usang, bagaimana kita mengukur keberhasilannya di masa lalu?

Selain itu, penting untuk menyoroti bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi kesiapan guru, kurikulum, dan sistem evaluasi.

BACA JUGA: Dampak Zonasi PPDB: Sekolah Swasta Terkikis dan Terpinggirkan

Tanpa pertimbangan matang, fleksibilitas yang diharapkan justru bisa menciptakan kebingungan, terutama bagi siswa yang masih mencari jati diri akademis mereka.

Risiko lain yang harus diperhitungkan adalah hilangnya fokus bagi siswa yang ingin mendalami disiplin tertentu, yang penting untuk pendidikan lanjutan dan dunia kerja.

Artikel ini juga menggarisbawahi bahwa menghapus stereotip IPA, IPS, dan Bahasa tidak cukup hanya dengan menghilangkan penjurusan.

Perubahan paradigma dalam masyarakat dan sistem pendidikan diperlukan agar nilai dari berbagai disiplin ilmu benar-benar dihargai.

Selain itu, kesenjangan infrastruktur pendidikan yang masih ada bisa memperburuk implementasi kebijakan ini, terutama di sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas.

Ada sejumlah argumen kontra yang patut dipertimbangkan dalam penghapusan penjurusan.

Pertama, menghilangkan penjurusan sepenuhnya berisiko mengurangi fokus pembelajaran siswa pada bidang yang mereka minati atau kuasai.

Meskipun penjurusan bisa membatasi eksplorasi di bidang lain, sistem ini juga memberikan ruang bagi siswa untuk mendalami keahlian di bidang tertentu, yang penting untuk pendidikan lanjutan dan dunia kerja.

Fleksibilitas tanpa penjurusan dapat menimbulkan kebingungan, terutama bagi siswa yang belum menemukan minat akademisnya, apalagi jika bimbingan yang diberikan tidak memadai.

Kedua, artikel tersebut menyoroti adanya stereotip yang melekat pada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Namun, menghapus penjurusan saja tidak cukup untuk mengatasi stereotip ini. Masalah stereotip lebih berkaitan dengan persepsi masyarakat dan sistem pendidikan yang mengedepankan prestasi akademik dalam kerangka tertentu.

Upaya yang lebih efektif adalah mengubah paradigma pendidikan dan pola pikir masyarakat mengenai pentingnya berbagai disiplin ilmu, daripada sekadar menghapus penjurusan.

Ketiga, meskipun pembelajaran fleksibel dan pendekatan lintas disiplin diperlukan di era globalisasi, penghapusan penjurusan tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur pendidikan dan kompetensi guru dapat menimbulkan masalah baru.

Artikel tersebut seolah-olah mengasumsikan bahwa semua sekolah siap mengadopsi personalized learning, padahal banyak sekolah di Indonesia masih menghadapi keterbatasan fasilitas dan sumber daya.

Tanpa dukungan yang cukup, kebijakan ini justru bisa memperlebar kesenjangan pendidikan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan.

Sebagai catatan akhir, meskipun penghapusan penjurusan bertujuan untuk menghasilkan pendidikan lebih inklusif dan fleksibel, penerapan kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati.

Tantangan-tantangan seperti kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, dan perubahan paradigma masyarakat harus diatasi terlebih dahulu.

Jika tidak diperhatikan, kebijakan ini berpotensi menghadapi hambatan yang signifikan dalam implementasinya.

Oleh karena itu, pendekatan lebih holistik dan terintegrasi dalam menyelesaikan masalah pendidikan sangat diperlukan.

Fokus pada peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh lebih penting daripada perubahan struktural yang terburu-buru dan belum matang.

Kebijakan penghapusan penjurusan harus didukung oleh analisis komprehensif dan dukungan sistemik yang memadai agar menghasilkan dampak positif sesuai harapan.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler