jpnn.com, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menuturkan, salah satu Perda yang hingga kini tengah menuai polemik yakni Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang sering dinilai cacat hukum karena proses pembuatan kebijakannya tidak mengikuti peraturan perundangan yang telah ditetapkan.
Menurutnya, proses pembuatan kebijakan dilakukan secara tertutup dan diam-diam, sehingga bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi yang tengah digaungkan Pemerintah Pusat.
BACA JUGA: Perda Kawasan Tanpa Rokok Berpeluang Direvisi
Merespons polemik tersebut Trubus menyampaikan, peraturan tentang pengendalian rokok sudah ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012, Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
“Sehingga aturan daerah, dalam hal ini perda yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Dalam PP 109 disebutkan bahwa kawasan tanpa rokok harus tetap menyediakan tempat bagi para perokok,” tambah Trubus.
BACA JUGA: Perda Kawasan Tanpa Rokok Haruskan Libatkan Semua Pihak
Dalam berbagai aturan nasional baik PP maupun UU tidak ada larangan total rokok. PP 109/2012 diturunkan dari Undang-Undang Kesehatan yang didalamnya juga tidak melarang total aktivitas maupun kegiatan promosi produk tembakau.
“Ini kan sangat bertentangan dengan aturan yang ada di banyak daerah saat ini," tegas Trubus.
BACA JUGA: Raperda Kawasan Tanpa Rokok Dibahas Lagi
UU Kesehatan sebagai induk peraturan bahkan tidak mengatur pelarangan total seperti yang banyak ditemui di Perda KTR beberapa kota, sebut saja Kota Depok dan Kota Bogor. Produk hukum tersebut tidak jelas mengacu ke peraturan yang mana.
Trubus menilai, Perda bermasalah seperti ini akan menjadi contoh pembentukan kebijakan publik yang tidak baik kepada masyarakat dan pemerintah daerah lain.
Dia mencontohkan, Perda KTR yang bermasalah juga akan memengaruhi ekosistem usahanya, karena dalam perda tersebut melarang toko memajang rokok.
“Ini tentu akan berdampak kurang baik terhadap perekonomian di daerah dan berpotensi mempengaruhi pendapatan negara dari rokok," paparnya.
Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengakui ada penurunan pendapatan negara dari industri rokok.
"Menkeu sudah mengakui bahwa ada penurunan pendapatan negara dari sektor rokok," paparnya.
Dia memperkirakan kondisi ini terjadi karena dampak penurunan produksi rokok sesudah proses pemilihan umum presiden beberapa bulan lalu.
Menurut Trubus, saat ini industri hasil tembakau sudah mengalami kelebihan pengaturan (over regulated). Karena itu, ketimbang membuat atau merevisi berbagai peraturan yang ada, pemerintah sebaiknya fokus meningkatkan edukasi mengenai produk tembakau kepada masyarakat.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy