jpnn.com, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi seketika memancing respons publik.
Respons pernyataan tersebut berupa desakan masyarakat terkait wacana revisi UU ITE, kembali bergulir di publik.
BACA JUGA: Istri Ogah Beri Password Facebook, Suami Aniaya dan Ikat Kaki Anaknya, Lalu Digantung
Beberapa kelompok dan tokoh masyarakat mengemukakan bahwa implementasi UU ITE telah membungkam kebebasan berpendapat publik.
Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dianggap memiliki sejumlah "pasal karet" dan menimbulkan multitafsir, yang mengancam rasa keadilan masyarakat.
BACA JUGA: Pria Ini Sembunyi 7 Jam di Plafon Rumah Tetangga demi Satu Tujuan
Di samping itu implementasi UU ITE dianggap menghimpit ruang gerak kebebasan berpendapat, sehingga nilai-nilai demokrasi substantif tidak tercapai.
Di sisi lain kehadiran UU ITE ini sangat penting sebagai instrument kontrol terhadap ruang publik.
BACA JUGA: Staf Ahli Menkominfo: UU ITE Tak Mengurangi Kebebasan Berpendapat
Sehingga kebebasan berpendapat tidak mudah ditunggangi oleh kelompok tertentu yang memiliki agenda provokasi dengan menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian untuk memperoleh suatu tujuan.
Sejumlah fakta terungkap bahwa hoaks dan ujaran kebencian diproduksi secara sistematis dan masif oleh kelompok tertentu untuk menyerang individu maupun kelompok yang dianggap berbeda pandangan atau kepentingan.
Yang lebih berbahaya lagi, hoaks dan ujaran kebencian yang diproduksi menghasilkan sebuah propaganda yang bertujuan untuk menyulut amarah publik secara masif akibat dari perbedaan pilihan dalam sebuah kontestasi politik, konflik ideologi, isu agama dan sara.
Apabila hal tersebut justru dibiarkan makin membuat kita jauh dari rasa persatuan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa media sosial hari ini menjadi kekuatan baru dalam peradaban dunia modern.
Karena sebagian besar aktivitas masyarakat hari ini menggunakan internet dan media sosial. Media sosial saat ini menjadi ruang partisipatif bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya.
Dalam data yang diluncurkan We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2020 mencatat mengenai pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang dengan presentase hampir menyentuh 64 persen dari total jumlah penduduk dan 160 juta pengguna media sosial aktif dengan presentase 59 persen dari jumlah penduduk.
Bila merujuk dari data di atas tak ayal bila setiap individu berusaha saling mendominasi dan mempengaruhi individu lainnya dengan kekuatan media sosial.
Berupaya merasuk ke dalam pikiran serta mampu mengarahkan pikiran dari tiap individu.
Dibutuhkan sebuah policy yang dapat mengatur lalu lintas di internet agar menghasilkan ruang publik yang sehat tanpa harus mengganggu kebebasan berpendapat masyarakat.
Merujuk kepada teori Jurgen Habermas mengenai apa itu ruang publik dan peranannya dalam proses berdemokrasi, ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat.
Dalam ruang publik warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Karena proses ini menjadi parameter bahwa sebuah negara demokrasi yang sehat juga sangat ditentukan oleh ruang publik yang sehat.
Kemudian mengenai polemik UU ITE tersebut, saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Syaifullah Tamliha yang merupakan salah satu anggota DPR RI dari komisi I.
Menurutnya, revisi terhadap UU ITE perlu dilakukan untuk menghapus sejumlah 'pasal karet' yang belum dihapus saat revisi UU ITE dilakukan pada masa kepemimpinan Rudiantara sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo).
Karena yang direvisi sangat terbatas dan pemerintah diwakili Menkominfo tidak mau memperlebar revisi, maka memang berakibat masih terdapat beberapa 'pasal karet' yang perlu direvisi lagi, ujar Syaifullah Tamlihah yang juga salah satu Majelis Pembina Nasional PB PMII.
Lalu dalam menjaga political will pemerintah mengenai UU ITE tersebut, kita perlu mengapresiasi langkah cepat Kapolri yang menerbitkan surat edaran melalui telegram tentang SE, nomor SE/2/11/201 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif pada 19 Februari silam.
Hal itu sebagai respon mengenai UU ITE yang beberapa pasalnya dinilai bersifat karet dan kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi di ruang digital.
Langkah Kapolri tersebut dinilai menjadi bagian dari restorative justice yang merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.
Sehingga melalui surat edaran ini diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakkan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Lalu ketika pemerintah sudah melaksanakan fungsinya dengan membangun political will tersebut. Di sinilah peran penting masyarakat dalam menciptakan ruang publik yang sehat.
Terutama peran kader kader PMII sebagai bagian dari civil society untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya memahami norma-norma berperilaku yang baik dalam bermedsos. Harus bisa membedakan apa itu kritik dan apa itu hujatan.
Selain itu kader PMII yang memegang teguh prinsip Aswaja An-Nahdliyah bahwa pentingnya menjaga persatuan dan menyampaikan islam sebagai agama yang damai dengan menghadirkan konten konten positif di media sosial setidaknya bisa membantu dalam mewujudkan ruang digital yang sehat.
Dan bisa mempengaruhi masyarakat sekaligus. Agar tidak mudah terprovokasi tentang ajaran yang berujung kepada ekstrimisme maupun radikalisme.
BACA JUGA: Dua Jenazah Korban Penembakan Bripka CS Tiba di Sumut, Tangis Keluarga Pecah, Begini Suasananya
Apabila hal itu terwujud, ruang publik yang damai akan tercipta dan akan berdampak pada keutuhan bangsa.***
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Budi