jpnn.com - PHNOM PENH – Unjuk rasa buruh pabrik garmen di Kamboja berujung ricuh, Jumat (3/1). Polisi terpaksa melepaskan tembakan setelah ribuan buruh yang menuntut kenaikan upah tersebut bertindak anarki. Mereka memblokade beberapa ruas jalan, membakar ban bekas, serta melempari polisi yang bertugas.
’’Para demonstran menjadi brutal. Mereka merusak properti publik dan milik warga,’’ kata Chuon Narin, wakil kepala polisi di Kepolisian Phnom Penh.
BACA JUGA: Bayi Kembar Lahir Beda Tahun
Lantaran mulai mengkhawatirkan, polisi lantas bertindak. Mereka melepaskan tembakan peringatan untuk menghentikan tindakan brutal para demonstran itu. Tetapi, ribuan pengunjuk rasa yang beraksi sejak pagi tersebut tidak menggubris peringatan polisi. Kemudian, polisi mengarahkan tembakan AK-47 ke arah kerumunan massa. Akibatnya, ratusan buruh yang memblokade ruas jalan di sebelah utara ibu kota semakin beringas. Mereka semakin nekat dan menyerang petugas dengan menggunakan benda-benda di sekitarnya. ’’Kami berhasil menghalau mereka dari pusat kota setidaknya untuk sementara, menjelang tengah hari,’’ jelas Narin.
Bentrokan polisi dan demonstran itu telah mengakibatkan tiga orang meninggal. ’’Selain tiga korban jiwa, insiden itu mengakibatkan sepuluh orang terluka. Tujuh di antaranya menderita luka tembak,’’ lapor Chan Saveth, salah seorang pengawas dari lembaga HAM setempat, Adhoc.
BACA JUGA: Populasi Warga Jepang Terus Berkurang
Saat ini sepuluh korban luka dirawat di rumah sakit. Kabarnya, tiga korban tewas yang identitasnya tidak disebutkan itu melemparkan bom molotov ke arah polisi yang berjaga di halaman pabrik Beng Sreng. Selain bom molotov, buruh pabrik garmen yang menuntut kenaikan upah 100 persen tersebut menyerang petugas dengan menggunakan batu dan tongkat. Namun, mereka harus menerima serangan balasan yang berat karena polisi menggunakan senapan.
Apa pun alasannya, Saveth dan para aktivis HAM Kamboja lainnya mengecam keras aksi polisi kemarin. Mereka menganggap bentrokan yang bermula dari unjuk rasa kaum buruh itu merupakan aksi kekerasan terburuk di Kamboja sepanjang sepuluh tahun terakhir. Apalagi, bentrokan tersebut berjalan tidak seimbang karena aparat bersenjata senapan AK-47. ’’Jika kami berdiam diri, aksi protes tersebut akan berubah menjadi anarki,’’ tegas Kheng Tito, jubir polisi militer ibu kota.
BACA JUGA: Cekcok Picu Pembunuhan
Meski hanya bersenjata batu, tongkat, dan bom molotov, para demonstran sukses melukai sejumlah personel kepolisian. Tito menyatakan, sembilan polisi terluka karena terkena lemparan batu dan serangan ketapel para pengunjuk rasa. Unjuk rasa yang berakhir dengan kematian tiga orang tersebut menjadi tamparan bagi Perdana Menteri (PM) Hun Sen.
Beberapa waktu terakhir, oposisi yang dikomandani National Rescue Party Kamboja menuntut pemimpin 61 tahun itu untuk mundur. Mereka hampir setiap hari menyerukan tuntutan tersebut. Tetapi, sejauh ini Hun Sen tetap bersikeras pada pendiriannya untuk bertahan. (AP/AFP/hep/c15/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hayo, Nyawa atau Penis?
Redaktur : Tim Redaksi