Polisi Percuma

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 07 Desember 2021 – 13:36 WIB
Ilustrasi Polri. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Lapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing, lapor kehilangan kambing malah kehilangan sapi, lapor kehilangan sapi malah kehilangan motor.

Begitu bunyi pameo mengenai ruwetnya lapor ke polisi. Urusan tidak cepat ditangani, tetapi malah pelapor keluar uang lebih banyak.

BACA JUGA: Pemuda Ini Nekat Mengacungkan Golok ke Polisi dan TNI

Itu bukan kejadian di Indonesia. Polisi yang tidak responsif itu hanya ada di cerita film India. Atau kejadian itu hanya dijumpai di Republik Tanzania di Afrika.

Di Indonesia polisi sudah baik, meskipun sesekali masih ada yang brengsek. Misalnya Randy Bagus yang memerkosa mahasiswi sampai hamil dua kali lalu memaksa aborsi, sampai akhirnya mahasiswi itu mati bunuh diri di makam ayahnya.

BACA JUGA: Tahanan Tewas Dianiaya Polisi, Kapolres Meminta Maaf

Pameo kehilangan ayam itu sangat populer di masa lalu. Sekarang polisi sudah berbenah untuk memperbaiki citra itu. Polisi mengaku sudah bekerja keras melakukan trust building supaya lebih bisa dipercaya oleh masyarakat.

Sebuah survei Saiful Mujani Reasearch Center (SMRC) menempatkan polisi sebagai institusi yang paling kurang dipercaya, itu adalah bagian dari proses.

BACA JUGA: 5 Fakta Soal Kondisi yang Dialami Novia Widyasari, Nomor 1 Mengerikan Sekali

Seminggu terakhir muncul tagar ‘’Percuma Lapor Polisi’’ di media sosial. Tagar menjadi viral setelah muncul berita penghentian kasus penyidikan dugaan perkosaan seorang bapak terhadap tiga anak kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Polisi menghentikan penyidikan kasus itu karena tidak cukup bukti.

Para aktivis gerakan perempuan dan perlindungan anak bereaksi keras terhadap penghentian kasus itu. Kalau para korban perkosaan harus menunjukkan bukti dan saksi, maka sampai kapan pun kasus perkosaan akan sulit dibuktikan.

Kasus inses di Luwu Timur itu dilakukan bapak terhadap anak-anaknya di rumahnya sendiri, sehingga hampir mustahil menemukan barang bukti dan saksi.

Tagar ‘’Percuma Lapor Polisi’’ pun muncul menjadi trending topic selama berhari-hari. Cara-cara polisi menangani kasus itu dianggap tidak profesional dan tidak update, sehingga dianggap percuma melapor ke polisi.

Tidak mau kalah, polisi pun membuat tagar ‘’Polisi Sudah Sesuai Prosedur’’ untuk membela diri. Perang tagar pun ramai di media sosial. Polisi membantah sengaja melakukan perang tagar. Yang dilakukan adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa polisi sudah menangani kasus itu sesuai prosedur.

Alih-alih mereda, kecaman terhadap polisi makin ramai setelah muncul kasus Novia Widyasari. Mahasiswa perguruan tinggi negeri di Malang itu bunuh diri minum racun sianida di atas makam ayahnya di daerah Mojokerto, Jawa Timur.

Novia menjadi korban perkosaan sampai hamil dua kali oleh anggota polisi yang kemudian memaksa Novia melakukan aborsi.

Novia memilih jalan nekat itu karena merasa tidak ada lagi jalan keadilan yang bisa diambil. Mungkin Novia berpikir ‘’Percuma Lapor Polisi’’ karena dia pasti menghadapi prosedur yang sulit dan malah bisa menjebak dirinya sendiri.

Membuktikan terjadinya perkosaan sistematis dan paksaan melakukan aborsi, pasti bukan sesuatu yang mudah dilakukan oleh seorang korban. Apalagi pelakunya adalah polisi. Bunuh diri pun diambil sebagai jalan pintas untuk mengakhiri masalah.

Polisi jadi sasaran kecaman lagi. Anggota DPR RI menganggap polisi lelet dalam mengantisipasi kasus ini. Polisi baru bergerak setelah kasus ini viral di media sosial dan media mainstream. Alurnya mirip dengan kasus perkosaan di Luwu, dibikin viral dulu baru polisi bertindak.

Dalam kasus Novia akibatnya menjadi fatal karena korban menjadi depresi dan memilih jalan pintas. Kasus yang sama bisa saja terjadi terhadap korban perkosaan di Luwu, kalau tidak ada penanganan hukum yang memadai.

Dua kasus ini menambah daftar panjang kontroversi polisi di tengah masyarakat dalam beberapa bulan terakhir. Kasus smackdown yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa pedemo di Tangerang menjadi sorotan tajam masyarakat, karena polisi dianggap tidak profesional dalam bertindak.

Kasus smackdown lainnya dilakukan seorang kapolres di Kalimantan Utara yang menghajar anak buahnya sendiri sampai KO terjungkal di lantai. Dua kasus kekerasan itu viral di media sosial, dan memantik kecaman terhadap budaya kekerasan yang dianggap masih subur di lingkungan polisi.

Ada juga kasus yang lucu dan cenderung konyol. Praktik pungli di jalanan yang dilakukan polisi lalu lintas menjadi kejadian yang sering dialami masyarakat. Kali ini bukan pungli uang yang dilakukan oleh polisi, tetapi pungli sekarung bawang putih. Polisi meminta sopir yang melanggar aturan lalu lintas dengan sekarung bawang putih sebagai pengganti uang.

Pada kejadian lainnya polisi meminta ganti pungli dengan beberapa butir durian dari sopir yang melanggar aturan lalu lintas.

Kejadian ini makin menegaskan kecurigaan masyarakat mengenai pungli di jalan yang masih marak. Polisi dicurigai masih sering melakukan tawar-menawar dengan pelanggar lalu lintas.

Angka pungli bisa ratusan ribu. Angka itu bisa turun menjadi puluhan ribu saja bergantung tawar-menawar seperti lelang. Kalau tidak ada uang boleh barter dengan sekarung bawang atau beberapa butir durian.

Akhlak yang tidak terpuji bisa merantak ke mana-mana. Seorang kapolsek menggauli seorang perempuan yang bapaknya menjadi tersangka, dengan iming-iming tersangka akan dibebaskan dari tahanan polisi.

Beberapa orang anggota polisi menggauli seorang perempuan yang suaminya tengah ditahan karena kasus narkoba. Perempuan itu dirayu dan diberi janji suaminya akan dibebaskan dengan imbalan layanan seks. Ternyata janji itu tidak terbukti.

Kinerja polisi juga menjadi sorotan Presiden Jokowi. Kali ini soal polisi yang menghapus mural bergambar orang mirip Jokowi yang terjadi di beberapa daerah. Menurut Jokowi, polisi lebay dengan tindakan itu. Bagi Jokowi kritik melalui mural itu adalah hal kecil, karena Jokowi mengaku sudah terbiasa dikritik dan bahkan dicaci maki.

Operasi hapus mural itu terjadi berkali-kali di berbagai tempat dengan cara yang kurang lebih sama. Muncul mural dengan sosok mirip dengan Jokowi yang kemudian diunggah di media sosial. Tak perlu menunggu lama, dalam waktu singkat mural itu pun dihapus atau ditutup dengan cat warna hitam. Alasannya bermacam-macam, misalnya mural itu tidak berizin atau mengganggu estetika di ruang publik.

Jokowi mengatakan tidak yakin bahwa penghapusan itu adalah perintah kapolri. Jokowi juga tidak yakin operasi itu merupakan perintah kapolda atau kapolres. Jokowi pun mengatakan bahwa kapolsek yang harus menertibkan anggotanya yang melakukan operasi penghapusan itu.

Di kalangan mahasiswa dan aktivis demokrasi di masa Orde Baru beredar joke politik soal ‘’hirarki ketakutan’’. Dikisahkan bahwa mahasiswa takut kepada rektor, lalu rektor takut kepada menteri, kemudian menteri takut kepada presiden, selanjutnya presiden takut kepada istrinya. Joke masih dilanjutkan lagi, istri presiden takut kepada kecoak.

Di negeri otoriter Orde Baru hierarki ketakutan itu berlangsung secara otomatis, menjadi mekanisme yang berjalan sebagai prosedur tetap. Tidak perlu ada perintah tertulis atau lisan, mekanisme itu berjalan dengan sendirinya setiap saat.

Pengawasan melekat yang dilakukan oleh rezim otoriter benar-benar efektif, sehingga hierarki ketakutan berjalan sebagai sesuatu yang normal.

Di negeri antah-berantah Neo-Orde Baru terjadi hal yang mirip. Hierarki ketakutan berjalan normal di semua instansi, mulai dari departemen, kepolisian, sampai ke kampus. Mahasiswa takut kepada rektor, lalu rektor takut kepada menteri, selanjutnya menteri takut kepada presiden, kemudian presiden mungkin takut kepada istri.

Namun, di negeri antah-berantah Neo-Orba, kelihatannya, presiden tidak takut kepada mahasiswa. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler