jpnn.com - Politik seharusnya menghibur dan bahkan seharusnya lucu. Banyak momen-momen politik yang lucu, yang seharusnya bisa menjadi bahan lelucon untuk menghibur rakyat yang lagi bingung mencari minyak goreng yang mendadak menjadi barang langka.
Setidaknya di tangan anak-anak komika milenial zaman now politik sudah menjadi materi stand up comedy yang segar dan mengundang gelak tawa. Tingkah polah para politisi yang ada di Senayan, maupun di Istana, yang selalu serius dan jaim, menjadi bahan canda yang kocak bagi anak-anak komedian milenial itu.
BACA JUGA: Komika Fico Fachriza Ajukan Rehabilitasi, Kombes Mukti Bilang Begini
Aji Pratama, 17 tahun, drop out SMA dari Palembang, lalu merantau ke Jakarta. Tidak pernah masuk parpol dan tidak pernah ikut demo ke DPR. Namun, namanya menjadi viral dan dikenal oleh banyak orang sebagai ‘’Aji DPR’’. Sampai sekarang atribut DPR melekat sebagai nama panggung Aji Pratama.
Aji menjadi terkenal dengan sebutan ‘’Aji DPR’’ karena memenangi kontes stand up comedy bertema ‘’Kritik DPR’’ pada 2018. Aji menceritakan dirinya sebagai anak STM yang punya hobi membolos sekolah, tidur di kelas, dan korupsi uang SPP.
BACA JUGA: Komika Pandji Pragiwaksono Turut Meriahkan Acara Milad Pertama UICI
Semua kebiasaannya itu mirip dengan kebiasaan anggota DPR. Karena itu Aji merasa bahwa dia punya passion dan life style yang sama dengan anggota DPR.
Gaya membolos anak STM disamakan dengan gaya membolos anggota DPR. Aji menyamakan caranya merayu teman untuk membolos dari kelas yang membosankan dengan cara Fahri Hamzah, yang mengajak Fadli Zon untuk membolos dari sidang yang membosankan.
BACA JUGA: 3 Tips Membuat Konten Lucu Pakai Hp Ala Komika Ardit Erwandha
Fahri mengajak Fadli membolos untuk main PS. Fadli menolak, tetapi ketika Fahri mengatakan akan mentraktir, Fadli pun oke. Mereka berdua kemudian melompat pagar dan mengganti seragam supaya tidak digaruk Satpol PP.
DPR mengadakan lomba stand up comedy untuk ‘’cuci muka’’, karena beberapa waku sebelumnya ada gagasan dari DPR untuk membuat undang-undang yang melindunginya dari kritik masyarakat.
Publik pun bereaksi keras terhadap gagasan itu. Terpojok, DPR kemudian cuci muka dengan mengadakan lomba stand up comedy untuk membuktikan bahwa mereka tidak anti-kritik.
Bagi kebanyakan orang, punya atribut DPR adalah kebanggaan yang hebat. Banyak yang rela menyogok ratusan juta untuk bisa mendapatkan atribusi itu. Harun Masiku, misalnya. Dia menyogok ratusan juta supaya bisa mendapat jabatan di DPR, sampai rela menjadi buron yang bersembunyi dua tahun demi jabatan itu.
Namun, beda bagi Aji. Dia justru risih dengan tempelan nama DPR di belakang namanya. Dia menganggap tempelan itu merugikan kariernya dan merusak reputasinya. Maka Aji berusaha keras menghilangkan tempelan itu dengan membuat projek-projek baru yang tidak ada bau-bau politik.
Namun, gaya roasting Aji sudah telanjur menjadi tren. Banyak bermunculan komika yang kemudian melakukan roasting kepada politisi atau pejabat publik. Roasting, atau memanggang, adalah teknik komedian dengan cara meledek seseorang dengan lelucon.
Komika muda dengan joke-joke politik segar dan cerdas mulai bermunculan.
Fahri Muharram salah satunya. Dalam sebuah episode, Fahri tampil bersama Aji. Yang menjadi korban roasting adalah Faldo Maldini, politisi lompat pagar dari oposisi menjadi juru bicara Jokowi. Dahulu, Faldo mengritik Jokowi dengan keras, sekarang Faldo membela Jokowi dengan keras juga. Kata Fahri.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tempat Faldo sekarang bernaung, menjadi sasaran roasting Fahri Muharram. PSI yang hanya mendapat suara 1,7 persen diledek sebagai partai duafa, karena untuk bayar zakat pun perolehannya tidak cukup.
Mengapa suara PSI rendah? Karena casing dan barang tidak sesuai. Di luar di-branding sebagai partai anak muda, tetapi ternyata PSI selalu akrab dengan partai-partai orang tua seperti PDIP dan koalisinya.
Mana ada anak muda yang akrab dengan orang tuanya. Makanya tidak ada anak muda yang memilih PSI.
Komika Kiky Saputri me-roasting Anies Baswedan di acara televisi ‘’Lapor Pak’’ dan menjadi viral. Kiky secara sengaja salah sebut Anies sebagai Ahok. Kiky juga me-roasting Anies soal Formula E dan korban reshuffle kabinet Jokowi.
Anies yang mendapat serangan menohok bisa mengelak dengan tangkas. Anies yang tampil dengan seragam pemadam kebakaran berkomentar, ‘’Untung saya pakai baju pemadam kebakaran, jadi tahan panas.’’
Ternyata Anies punya sense of humor yang lumayan bagus. Banyak pejabat yang tidak punya sense of humor, atau, punya selera humor tapi rendah dan jelek. Di DPR selera humor yang buruk itu dipamerkan dengan main kuasa, misalnya meminta seorang pejabat untuk memecat bawahannya karena memakai bahasa daerah dalam rapat kerja dengan DPR.
Karena iklim politik yang kering humor, maka publik pun kehilangan selera humor dan timbul ketegangan di mana-mana. Narasi ‘’tempat jin buang anak’’ yang sebenarnya punya nuansa humor yang kental akhirnya dipersepsi sebagai ungkapan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Ungkapan ‘’macan yang mengeong’’ yang sarkastis dan punya unsur humor, dianggap sebagai penghinaan.
Para pemimpin nasional Indonesia jarang ditampilkan sisi humorisnya. Hanya Gus Dur yang selalu tampil los dengan humor-humor segar. Sebenarnya banyak sisi humor yang manusiawi dari para presiden Indonesia.
Namun, tradisi budaya politik Indonesia, yang menganggap kekuasaan sebagai sakral, membuat para presiden tidak diekspos sisi kemanusiannya yang lucu.
Salah saru ciri kematangan sebuah bangsa adalah kemampuannya untuk menertawakan diri sendiri. Para komika muda itu mungkin akan muncul dengan ide melakukan roasting imajiner terhadap para presiden terdahulu.
Bung Karno bisa di-roasting karena, selain doyan mereshuffle kabinet, juga suka mereshuffle istri. Pak Harto bisa di-roasting karena punya julukan the smiling general, jenderal yang tersenyum, tetapi ternyata suka menggebuk.
Presiden B.J Habibie tidak pernah melucu. Namun, menjadi lucu ketika gaya bicaranya ditirukan oleh Butet Kertaredjasa.
Gaya bicara Habibie yang cadel tidak bisa menyebutan ‘’R’’ dengan sempurna, sehingga ‘’orde baru’’ terdengar sebagai ‘’orde bau’’.
Presiden Megawati tidak pernah melucu dan tidak pernah bicara. Bahkan Butet pun akan kesulitan menirukan Megawati. Mungkin anak-anak komika akan berdiri lima menit tanpa bicara di panggung untuk menirukan gaya ‘’silent president’’ ala Megawati.
Kalau para komika itu tampil dalam stand up comedy with President Gus Dur, pasti mereka kalah lucu. Bukannya me-roasting Gus Dur, para komika itu malah bakal banyak ‘’kulakan’’ materi humor politik dari Gus Dur. Khazanah humor politik Gus Dur sangat kolosal.
Presiden SBY yang selalu tampil formal dan berwibawa akan menjadi tantangan berat bagi para komika. Tentu saja para pembantu presiden tidak akan membiarkan SBY tampil di stand up comedy, karena akan meruntuhkan imej SBY sebagai presiden ksatria yang agung.
Jokowi dan Ma'ruf Amien sudah sering menjadi sasaran kritik komika. Namun, komika itu lantas menjadi bulan-bulanan buzzer. Komika Bintang Emon diserbu oleh buzzer karena sering mengkritik kebijakan pemerintah. Jokowi beberapa kali mengatakan tidak anti-kritik, tteapi buzzer tidak akan pernah membiarkan Jokowi menjadi sasaran kritik.
Apa ada komika yang berani me-roasting Jokowi? Komika Marshel Widianto punya cita-cita me-rosting Jokowi. Kabarnya Marshel punya tarif Rp 30 juta sekali tampil. Ia rela tidak dibayar asal bisa me-roasting Jokowi.
Tentu roasting-nya jangan kepanasan kalau tidak mau diserbu buzzer, atau dikenai pasal menghina simbol negara. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror