jpnn.com, JAKARTA - Berdasarkan laporan BPK Semester II tahun 2020 terhadap PT Pupuk Indonesia dan anak perusahaannya ditemukan beberapa penyimpangan yang merugikan negara.
Anak perusahaan PT Pupuk Indonesia itu yaitu PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Sriwijaya Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Indonesia Logistik.
BACA JUGA: Polisi Bergerak Usut Dugaan Kelangkaan Pupuk Bersubsidi
“Di tengah penghargaan atas keberhasilan PT Pupuk Indonesia HC membukukan keuntungan tetap harus memperhatikan temuan BPK tersebut, jangan sampai ada kesan subsidi pupuk untuk petani justru banyak dinikmati oleh BUMN Pupuk,” ujar anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera drh. Slamet pada Selasa (20/7).
Slamet menjelaskan ada banyak temuan BPK terkait Harga Pokok Produksi (HPP) yang terlalu tinggi karena memasukkan biaya-biaya yang seharusnya bukan komponen biaya produksi sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/Sr.130/1/2012 Tentang Komponen Harga Pokok Penjualan Pupuk Bersubsidi untuk sektor pertanian.
BACA JUGA: Respons Politikus PKS Slamet Tentang Tragedi Karamnya 14 Kapal Nelayan di Kalbar
Selanjutnya, temuan lain dalam laporan BPK tersebut adalah terkait manajemen hubungan kerja dengan para rekanan menyebabkan pemborosan pada biaya distribusi yang ujungnya juga dibebankan pada Harga Pokok Produksi yang menyedot subsidi pupuk negara pada pembiayaan yang tidak semestinya.
Di samping itu, ditemukan juga penyaluran pupuk bersubsidi belum direncanakan, dilaksanakan dan dipantau secara cermat sehingga tidak tepat sasaran mulai dari distributor sampai ke pengecer.
BACA JUGA: Pupuk Indonesia jadi Role Model Integrasi Roadmap Holding Anak Perusahaan
Hal ini berpotensi ada petani yang tidak mendapatkan haknya sesuai eRDKK, atau menyebabkan kelangkaan pupuk di lapangan.
Menurut Slamet, persoalan besar pupuk bersubsidi terletak pada besarnya angka subsidi pupuk oleh negara dan manajemen penyaluran yang tidak tepat sasaran menyebabkan “pupuk bersubsidi langka” sehingga tetap tidak bisa dirasakan oleh banyak petani dan tidak bisa mendongkrak produktifitas petani.
Alhasil angka pertumbuhan produksi panen padi petani menjadi stagnan bahkan cenderung menurun.
Padahal angka subsidi yang sebesar 34,2 triliun itu baru mensubsidi sekitar 34 persen dari kebutuhan eRDKK, atau sekitar 8,8 juta ton dari 26,2 juta ton.
Di sisi lain, kata dia, kita sebenarnya banyak melihat kemampuan petani, UKM dan perusahaan swasta menciptakan pupuk murah yang bagus dan diminati petani, tetapi pemerintah melakukan pembatasan dan mekanisme izin yang super-ketat sehingga sulit ditembus, lebih ketat dari masuknya pupuk impor.
“Di tengah kelangkaan pupuk bersubsidi dan tingginya subsidi pupuk, saya menyarankan agar Presiden membuka pembatasan peran serta masyarakat untuk ikut membangun negara melalui penemuan pupuk bagus dan murah dan menekan pemborosan. BUMN harus efisien dan tidak kalah bersaing dengan pupuk buatan petani, UKM atau swasta lainnya," pungkas Slamet.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi