Politisasi Birokrasi Jadi Akar Korupsi

Rabu, 19 Januari 2011 – 07:24 WIB

JAKARTA - Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan kemudian dipenjara dinilai merupakan imbas lemahnya pengawasan pemerintah selama bergulirnya era otonomi daerahMenurunnya komitmen penegakan hukum ke titik nadir pada gilirannya juga memiliki andil dalam memperparah kondisi tersebut.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyatakan, pilkada langsung telah mendorong terjadinya politisasi birokrasi

BACA JUGA: SBY Diberi Gelar Patuan Sorimangaraja

Untuk menghadapi pertarungan dalam pilkada, banyak incumbent (tokoh yang masih menjabat) yang kerap memanfaatkan berbagai fasilitas, termasuk APBD, untuk melapangkan jalan kemenangan mereka.

Bahkan, kata dia, tidak jarang kepala daerah yang sedang menjabat menggunakan aparaturnya sebagai tim sukses
"Itulah dampak negatif pilkada langsung terhadap birokrasi," kata Zuhro saat ditemui di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, kemarin (18/1).

Menurut dia, kondisi birokrasi saat ini cenderung lebih "membahayakan" daripada saat era Orde Baru (Orba)

BACA JUGA: Gubernur Bengkulu Minta Bebas

Saat rezim Orba berkuasa, yang terjadi adalah upaya "meng-Golkar-kan" birokrasi
Saat ini, tegas Zuhro, justru muncul faksi-faksi ala partai politik di birokrasi

BACA JUGA: Masih Belum Lega, Setelah Bertemu SBY

"Akibatnya, soliditas birokrasi terancamRakyat otomatis dirugikan," ujarnya.

Dia menyebutkan, birokrasi sekarang menjadi ajang tarik-menarik kepentingan perjuangan partaiTentu, kaitannya tidak jauh-jauh dari urusan finansial alias sumber daya ekonomi"Sekarang, investor menanam modalnya ke semua calonDalam prosesnya, dilihat kandidat yang terkuat, terus digerojokPascapilkada, pembangunan sangat bergantung pada instruksi para investor," kritik perempuan kelahiran Blitar, 7 November 1959, ituMenurut Zuhro, sistem multipartai sejauh ini tidak memberikan manfaat besar terhadap kinerja pemda"Justru hanya menyuburkan tradisi korupsi," tegasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Tim Peneliti Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Dwi Windyastuti Budi Hendrarti menjelaskan sejumlah kemungkinan pemicu maraknya korupsi yang melibatkan kepala daerahSalah satunya, banyak kepala daerah yang tergolong "politisi pendatang" yang tidak paham teknis birokrasi"Padahal, tertib anggaran itu sangat ketatMereka tidak menyadari itu sehingga tersandung," ungkapnya.

Aspek lain yang patut dicatat, terang dia, adalah tingginya biaya politik dalam pilkada"Setelah terpilih, mau tidak mau kepala daerah berusaha mencari uang kembalian," ujarnya.

Dia menyatakan, terkadang inisiatif untuk berkorupsi itu tidak datang dari pribadi kepala daerahTetapi, hal tersebut sering didorong mantan anggota tim sukses kepala daerah saat pilkada"(Hal itu) sebagai balas budi kepada partai pengusung atau tim sukses yang meminta proyek-proyek dari pemda," ujarnya.

Pada bagian lain, peneliti senior CSIS JKristiadi menilai, politisasi birokrasi mengakibatkan lembaga tersebut menjadi ajang dan alat pertarungan kekuasaanMemang, undang-undang melarang birokrat untuk berpolitikTapi, dalam realitasnya, ketika pertarungan pilkada melibatkan unsur-unsur pimpinan daerah, kandidat bisa memaksa birokrat untuk menjadi tim sukses mereka.

"Hukum jelas ditabrak dan negara tidak mampu menegakkan peraturan sendiriBirokrasi menjadi pecah dan saling curiga," ujar KristiadiBirokrat yang berani menolak, ungkap dia, akan kehilangan jabatan dan masa depanSebab, pembina pegawai negeri sipil (PNS) di daerah adalah kepala daerah"Pascapilkada, biasanya kemenangan satu pihak akan menggusur para birokrat yang dicurigai sebagai lawan politik," jelasnya.

Ekses politik uang dalam pilkada, lanjut Kristiadi, mengakibatkan kepala daerah terpilih berorientasi pada upaya untuk mengembalikan investasi dalam pencalonannyaKorupsi yang dilakukan tidak melulu terhadap APBD, tapi juga memperjualbelikan jabatan yang menjadi ruang lingkup kewenangannya"Terutama, dinas-dinas yang basah diperjualbelikanMutasi bisa terjadi setiap tahun seharga ratusan juta rupiah," ungkapnya

Menurut dia, reformasi birokrasi tidak akan pernah bisa dilakukan, kecuali ada kekuatan yang dapat memaksa partai politik untuk mengakhiri pertarungan di ranah birokrasiSalah satunya melalui regulasi yang mengontrol ketat keuangan parpol serta para kandidat disertai sanksi yang tegas dan keras(pri/c5/dwi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gayus Ingin Jadi Warga Guyana


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler