jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah tokoh dan elemen sipil menyampaikan seruan merawat kemajemukan dan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Seruan ini menyikapi rencana aksi unjuk rasa Bela Islam Jilid III, 2 Desember mendatang.
Dalam seruan yang ditandatangani 38 orang perwakilan tokoh dan kelompok masyarakat sipil, dengan tegas menyatakan, demonstrasi atas dasar apapun merupakan hak konstitusional.
BACA JUGA: Habib Rizieq Disiapkan jadi Capres? Ah...Hoax
Namun harus diingat, kepolisian dapat melakukan pembatasan jika melanggar kepentingan dan ketertiban umum.
"Jadi kalau melanggar kepentingan dan ketertiban umum, Polri harus mengambil langkah terukur tanpa menebarkan kecemasan lanjutan di tengah masyarakat," ujar Henny Supolo, perwakilan dari Yayasan Cahaya Guru, membacakan pernyataan sikap seruan bersama tokoh dan masyarakat sipil, di Hotel Century, Senin (28/11).
BACA JUGA: GNPF-MUI Sediakan Tempat Khusus Bagi Nonmuslim Saat Aksi 212
Dalam pernyataan sikap, perwakilan tokoh dan masyarakat sipil juga menegaskan, negara hukum tidak boleh tunduk pada kelompok intoleran yang memaksakan kehendak dan mempengaruhi independensi aparat.
"Tapi Polri juga tak boleh mengambil langkah berlebihan, termasuk menggunakan delik makar tanpa ukuran yang jelas untuk menjerat pihak-pihak yang diduga terlibat dalam rencana tersebut," tutur Henny.
BACA JUGA: Ahmad Dhani: Saya Lapor ke Pak Fadli Zon Supaya...
Karena, penggunaan delik makar secara tidak akuntabel hanya akan membahayakan demokrasi. Sebab itu dalam konteks merawat kebebasan, kata Henny, Polri harus memastikan efek penetapan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka, terhadap proses penegakan hukum di daerah. Terutama pada kasus-kasus yang menyerupai kasus Ahok.
"Potensi penindakan berlebihan di daerah dapat mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia," ungkap Henny.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jadi Calon Dubes RI, Yuddy Chrisnandi Sambangi Komisi I DPR
Redaktur : Tim Redaksi