Pondok Pesantren Khusus Anak TKI di Pulau Sebatik

Paling Sulit Ajari Lagu Indonesia Raya

Kamis, 07 Oktober 2010 – 12:21 WIB

Di Pulau Sebatik terdapat pondok pesantren yang menampung anak-anak TKI (tenaga kerja Indonesia) yang telantarBerikut laporan wartawan Jawa Pos THOMAS KUKUH yang bulan lalu mengunjungi pesantren itu

BACA JUGA: Sutiyoso Mengenang Insiden Percobaan Penangkapan di Australia



=================================

PONDOK pesantren itu masih terlihat baru
Cat temboknya yang berwarna hijau muda dan tua belum banyak yang mengelupas

BACA JUGA: Slamet Suradio, Masinis KA dalam Tragedi Bintaro 1987, Hidupnya Kini (2-Habis)

Halamannya juga terlihat bersih
Belum banyak tanaman rimbun yang daunnya berguguran atau sampah-sampah berserakan.

Ya, pondok pesantren yang diberi nama Mutiara Bangsa itu baru beroperasi pada 2008

BACA JUGA: Slamet Suradio, Masinis KA dalam Tragedi Bintaro 1987, Hidupnya Kini (1)

Bangunan di atas lahan lima hektare itu terdiri atas ruang-ruang untuk kelas, ruang kantor yayasan, dan asrama untuk para santriSemua masih terlihat gres dan belum banyak dimanfaatkan

Ponpes tersebut berada di bawah binaan Yayasan Islam Indonesia Pulau Sebatik (YIIPS)Yayasan itulah yang mendapat mandat dari pemerintah untuk mengembangkan pondok pesantren yang pada awalnya memang ditujukan untuk fasilitas bagi anak-anak TKI yang bekerja di Kota Tawau, Sabah, MalaysiaSeperti diketahui, Tawau dan Sebatik merupakan dua wilayah yang berada di tapal perbatasan Malaysia-IndonesiaTepatnya di wilayah Kalimantan Timur.

Menurut Wakil Ketua YIIPS Suniman Latasi, Ponpes Mutiara Bangsa sebenarnya dirintis sejak 2007Saat itu pejabat pusat mengunjungi Pulau SebatikMereka prihatin melihat banyak anak TKI yang tidak bersekolah dan telantarTak lama kemudian, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) membangun pondok pesantren untuk keperluan pendidikan anak-anak TKI tersebut

Begitu bangunan fisik selesai, pondok diserahkan kepada pengurus YIIPS untuk dikelola"Dulu namanya Pesantren Darul Fikri YIIPSTapi, karena ada kebijakan dari pemerintah, namanya lalu diganti Pondok Pesantren Mutiara Bangsa," terangnya

Menurut Suniman, nama Mutiara Bangsa cocok untuk pesantren yang dipimpinnyaSebab, keberadaan pesantren tersebut dimaksudkan untuk mencari dan membimbing anak-anak TKI yang diibaratkan mutiara bangsa Indonesia itu.

Sejak berdiri pesantren itu menampung sekitar 70 santri setingkat SMPNamun, lantaran masih baru, dari jumlah itu baru 40 santri yang benar-benar sesuai sasaran, yakni anak TKI di TawauSelebihnya anak-anak warga setempat"Kami memang mengajak anak-anak sini untuk masuk pesantren iniBiar cepat ramai," tutur Suniman

Sebenarnya Ponpes Mutiara Bangsa sanggup menampung 120 santriKarena itu, para pengurus pesantren maupun yayasan terus mencari anak-anak TKI Tawau untuk bersedia masuk pesantrenSelain itu, pihak yayasan melakukan pembenahan di sana-sini untuk melengkapi kompleks pesantren tersebutMisalnya, mengadakan masjid
"Masjid akan kami bangun di lahan yang masih kosongSelama ini, untuk keperluan ibadah bersama, kami menggunakan ruang-ruang kosong," ujarnya

Muhammad Zainal Abidin, salah seorang santri, mengaku sangat senang bisa menempuh pendidikan di pondok ituDia menceritakan, sebenarnya dirinya sudah menempuh pendidikan setingkat SD di TawauSaat itu Abidin masih mengikuti orang tuanya yang bekerja di negeri jiran sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.
"Tapi, di sana saya tidak mendapat ijazah dari pemerintah Malaysia ketika lulus SD," paparnya

Itu sebabnya, ketika ada saudaranya mengajak sekolah lagi di Sebatik, Abidin langsung mauApalagi, dia tidak perlu mengikuti pendidikan SD lagiDi Pondok Mutiara Bangsa dia langsung bisa menempuh pendidikan di kelas I SMP"Saya sekarang sudah kelas II SMPSaya senang karena ijazahnya nanti resmi," kata remaja 15 tahun tersebut

Meski begitu, sampai kini orang tua Abidin masih tinggal di TawauKarena itu, kesempatan bertemu orang tuanya hanya bisa dilakukan bila ada libur"Kalau libur, saya nyeberang ke TawauKetemu bapak-ibu," tandas Abidin.

Tidak hanya Abidin yang pergi ke Tawau setiap liburHampir seluruh santri yang anak TKI memanfaatkan hari libur untuk "mudik" ke rumah orang tuanya di tanah jiranSaat Jawa Pos mengunjungi pesantren itu pada liburan Lebaran lalu pun mendapati pesantren dalam kondisi sepiSeparo lebih santrinya menyeberang ke Malaysia untuk berkumpul orang tuanyaYang lain mudik ke rumah mereka yang tersebar di Pulau Sebatik

Menurut Suniman, mayoritas santri anak TKI secara sadar datang ke Sebatik karena ingin bersekolah dengan layakItu karena di Tawau anak-anak TKI yang orang tuanya tidak memiliki identity card (IC) tidak bisa mendapat pendidikan yang layakMereka juga tidak bisa mendapatkan ijazah"Makanya, mereka datang ke siniMereka kan juga punya keluarga di sini," imbuhnya

Suniman menceritakan, santrinya yang bernama Sumarni hampir sembilan tahun bersekolah di TawauTapi, karena orang tuanya tidak memiliki IC, dia tak kunjung mendapatkan ijazahNah, setelah datang ke Sebatik, Suniman mengusahakan Sumarni mendapatkan ijazahDengan perjuangan, akhirnya Sumarni mendapat ijazah ibtidaiyah (setingkat SD)Jadi, dia pun tidak perlu mengulang untuk menempuh pendidikan SD di SebatikDia langsung menjalani pendidikan setingkat SMP di Ponpes Mutiara Bangsa

Suniman menambahkan, sebenarnya masih banyak anak TKI yang telantar pendidikannya di SabahDiperkirakan jumlahnya mencapai 40 ribu anak berusia wajib sekolah yang ikut orang tuanya tinggal di negara bagian Malaysia itu"Berdasar data di konsulat kita di Sabah, sebagian besar anak-anak TKI itu tidak mendapatkan pendidikan yang layak di Sabah."

Suniman menerangkan, Konsulat Jenderal RI di Sabah sangat sulit menemukan dan memproses kepulangan anak-anak TKI di sanaSebab, anak-anak itu lebih banyak bersembunyi di kantong-kantong TKI yang berada di hutan-hutan, mengikuti pekerjaan orang tuanya di perkebunan.  "Mereka juga tidak berani menampakkan diri karena takut ditangkap polisi dan diusir karena ilegal," jelasnya

Namun, bukan berarti tidak ada usaha pemerintah Indonesia untuk menjaring anak-anak TKI di Sabah agar mau masuk pesantrenSebab, Selasa (19/10) mendatang, konsulat akan mengirim sekitar 40 anak TKI ke Ponpes Mutiara Bangsa untuk menjadi santri baru

Suniman mengaku susah-susah gampang mengurus anak-anak TKISalah satu yang sulit adalah mengajarkan hal-hal yang berbau Indonesia kepada merekaMisalnya, para ustad di ponpes memerlukan waktu berhari-hari untuk mengajarkan lagu Indonesia Raya"Mereka sangat kesulitan melafalkan lagu ituYang mereka hafal justru lagu kebangsaan Malaysia," ucapnya lantas tertawa

Namun, para santri TKI sangat senang mempelajarinya dan mulai bisa menyanyikan lagu-lagu tentang Indonesia"Kami memang perlu terus menanamkan rasa bangga kepada mereka menjadi anak Indonesia," tegasnya(*/c2/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nestapa Keluarga Serka Bayu, Korban Tabrakan Maut KA di Pemalang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler