Dua puluh tiga tahun lalu Slamet Suradio menghadapi masa-masa sulit seperti yang dialami MHalik Rusdianto, masinis Kereta Api (KA) Argo Bromo Anggrek yang menjadi tersangka dalam tabrakan KA di Pemalang Sabtu lalu (2/10)
BACA JUGA: Nestapa Keluarga Serka Bayu, Korban Tabrakan Maut KA di Pemalang
Kini mantan masinis berusia 71 tahun itu menghabiskan masa tuanya dengan menjadi penjual rokok eceran=======================
HENDRI UTOMO, Purworejo
=======================
TABRAKAN maut KA Argo Bromo Anggrek dengan KA Senja Utama di Stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu lalu mengingatkan masyarakat akan peristiwa semacam pada 1987
BACA JUGA: Leonowens S.P., Penulis 30 Buku Karya Sastra dalam Setahun
Saat itu, 19 Oktober 1987, KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta Kota) yang dimasinisi Slamet Suradio bertabrakan secara frontal dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) di kawasan Bintaro, TangerangAkibatnya, 156 orang tewas mengenaskan dan sekitar 300 korban lain mengalami luka-luka
BACA JUGA: Perdana Kartawiyudha; Berprestasi ke Inggris berkat Piawai Menulis Naskah Film
Tragedi Bintaro itu dinilai sebagai kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia.Slamet lalu ditetapkan sebagai salah seorang tersangka dalam insiden tersebutDia akhirnya divonis lima tahun penjaraDia dianggap bersalahSelain Slamet menjalani hukuman di balik terali besi, karir sebagai masinis langsung mandekDia diberhentikan dari pekerjaan ituSetelah menuntaskan hukuman, dia memilih pulang ke kampung halaman di Purworejo
Slamet kini tinggal di sebuah rumah sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02 Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten PurworejoDia menghabiskan sisa hidupnya dalam kemiskinan dengan berjualan rokok eceran di rumah itu
"Hingga kini saya masih sering trauma dan miris jika mendengar kabar kecelakaan kereta apiSebagai mantan masinis, saya bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh seorang masinis yang mendapatkan musibah hebat seperti itu," kenang dia
Saat ditemui Radar Jogja (Grup JPNN) di rumah tersebut, lelaki lanjut usia itu masih mampu mengingat dengan jelas detail tragedi Bintaro yang melibatkan dirinyaSlamet mengisahkan, tragedi Bintaro terjadi Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30Saat kejadian, Slamet berada di lokomotif KRD 225
Di depannya, di rel yang sama, muncul KA 220 yang melaju dari Tanah Abang menuju MerakTidak banyak yang bisa dilakukan oleh Slamet saat maut berada di depan matanyaDia hanya mampu mengucapkan astagfirullahaladzim berulang-ulang sambil mencoba sekuat tenaga mengerem dan membunyikan "klakson" kereta
Slamet baru tersadar ketika sudah berada di ruang ICU RS Kramat Jati dengan luka-luka di sekujur tubuhKaki kanannya patahKulit pinggulnya sobekSelain itu, semua giginya rontok gara-gara terhantam handle rem keretaBegitu tabrakan terjadi, tubuh Slamet terlempar hingga belakang jok masinis
"Saya melihat sinyal aman ketika memasuki halte Pondok BitungNamun, secara bersamaan, dari arah berlawanan tiba-tiba muncul KA 220, lalu derrr...! Tabrakan maut itu tidak bisa terhindarkan," tutur dia
Kecepatan kereta yang dikemudikan oleh Slamet saat itu sekitar 40 km/jam"Saya langsung tidak sadar dengan luka-luka di banyak bagianSaya baru sadar ketika berada di rumah sakit," ungkap pria yang pernah tercatat sebagai pegawai negeri sipil dengan NIP 120033237 itu.
Selaku mantan masinis, Slamet secara gamblang bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh masinis KA Argo Bromo Anggrek MHalik Rusdianto, yang bernasib serupa dengannya"Dalam setiap kecelakaan KA, masinis selalu menjadi kambing hitam utamaPertimbangannya, perannya sangat vitalSaya yakin bahwa Pak Halik pasti mendapatkan interogasi panjang setelah kejadian," tuturnya
Untuk itu, Slamet berpesan kepada Halik untuk menceritakan apa adanya"Setahu saya, seorang masinis baru menjalankan kereta atau memasuki stasiun ketika ada sinyal aman dari petugas pemberitahuan tentang persilangan (PTP)," tambah dia.
"Jika itu yang terjadi di Petarukan, Pemalang, secara pribadi saya tidak terima kalau masinis dikambinghitamkanJika diminta menjadi saksi ahli dalam sidang nanti, saya bersedia," ungkap bapak yang ke mana-mana selalu membawa surat-surat penting kenangannya selama menjadi masinis dan dokumen proses peradilan yang menjadikannya terdakwa dalam tragedi Bintaro itu(bersambung/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Ibu-Ibu yang Menjadi Korban Arisan Piau di Tambora
Redaktur : Tim Redaksi