jpnn.com, JAKARTA - Industri fesyen Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk berkembang dan menjadi salah satu pilar kekuatan ekonomi bangsa.
Indonesia, bahkan menjadi negara keempat terbesar dari 10 negara yang menjadi target market fesyen dunia di tahun 2030.
BACA JUGA: Didukung Kemendikbudristek & Kemendag, 5 SMK - BT Batik Trusmi Kembangkan Industri Fesyen
Sayangnya, potensi tersebut tidak bisa dinikmati oleh para desainer dan pelaku usaha. Butuh perjuangan berdarah-darah untuk menaklukkan Industri fesyen di Indonesia.
Hal tersebut terungkap dari JF3 Talk Vol. 2 dengan tema "Is Indonesia’s Next Generation Ready To Lead The Future fesyen Industry?".
BACA JUGA: JMFW 2024 Jadi Ajang Pembuktian Anak-Anak Vokasi di Industri FesyenÂ
Diskusi dihadiri para kreatif muda, pelaku industri, pemerhati fesyen dan media massa yang digelar di Teras Lakon, Summarecon Serpong baru-baru ini.
Co-initiator PINTU Incubator dan Founder LAKON Indonesia Thresia Mareta menyoroti pasar mode Indonesia yang potensial, tetapi seperti ‘jalan di tempat’.
BACA JUGA: Gandeng 7 Desainer asal Prancis, PINTU Dorong Industri Fesyen Lokal Menebus Global
"19 tahun ini fesyen kita jalan di tempat, padahal potensinya besar," ujarnya.
Dia melihat salah satu upaya menggerakan industri fesyen Indonesia adalah dengan mendirikan forum kritikus fesyen di Indonesia. Tujuannya mendukung kualitas fesyen Indonesia.
"Kritikus fesyen ini harus independen, sebaliknya bagi para desainer jangan anti-kritik," tegasnya.
Syahmedi Dean, pengamat dan jurnalis fesyen, serta Editor-in-chief Luxina.id menyoroti perilaku konsumen mode Jakarta yang sangat unik.
Karakter konsumen Indonesia khususnya Jakarta suka dengan mode yang semarak, mudah bosan. Berbeda dengan konsumen di Paris yang suka mode simpel dan sederhana, tetapi detail.
"Di Paris, desainernya berani "memarahi" tukang jahitnya demi mendapatkan produk berkualitas. Indonesia kebalikannya, desainnya bagus, jahitannya kurang rapih karena desainer takut mengkritisi tukang jahit karena alasan sulit cari SDM, " tuturnya.
Sulitnya mengembangkan industri fesyen di Indonesia juga dirasakan Hartono Gan, desainer ternama. Dia mengaku sulitnya berkarya dan berbisnis mode di era media sosial.
Hartono, bahkan saat 5 tahun pertama membangun bisnisnya harus mengeluarkan modal sendiri untuk memasarkan produknya.
Dimulai dengan menjual baju Rp1,5 juta, hanya ikut satu show. Kemudian di show berikutnya dia bisa menjual baju hingga Rp15 juta.
"Banyak desainer yang lebih fokus memperluas pasar dengan membuat gimmick promosi tidak sehat ketimbang fokus pada kualitas karya, " ucapnya.
Tidak hanya desainer yang kesulitan membangun bisnis fesyen, pengusaha tekstil juga ikut merasakan. Mira Hoeng, textile artist dan CEO/founder MIWA menyampaikan pasar fesyen di Indonesia memang besar, tetapi sulit menaklukkannya terutama bagi desainer muda.
Namun, Mira punya solusi bagi para desainer muda untuk bertahan di industri fesyen. Salah satunya dengan tetap memegang prinsip menjadi diri sendiri dalam menghasilkan karya yang orisinal dan unik.
"Tidak usah ikut-ikutan. Contohnya, brand kami MIWA, yang malah dilirik perusahaan besar untuk menjadi brand ambassador karena produk kami unik dan orisinal," terangnya.
Sementara itu, Tenik Hartono, kritikus fesyen dan jurnalis senior berharap pemerintahan yang baru punya perhatian khusus soal fesyen. Lebih baik lagi jika Badan Ekonomi Kreatif dibuat kementerian sendiri. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad