Potret Keluarga Jawa setelah 125 Tahun 'Merdeka' di Suriname (2-Habis)

Katiman Jedul Kini Bisa Ngendang Dengkul

Senin, 10 Agustus 2015 – 22:22 WIB
BERDUA: Katiman Jedul (kiri) bersama istri, Wakiyem, di teras belakang rumahnya yang bersih dan segar. Foto: Arief Santosa/Jawa Pos

jpnn.com - Ibarat sawah, Redi Katiman Jedul telah memanen hasilnya. Tujuh anaknya jadi orang semua.

Laporan ARIEF SANTOSA, Suriname

BACA JUGA: Potret Keluarga Jawa setelah 125 Tahun

HUJAN tiba-tiba turun deras begitu Jawa Pos sampai di rumah Redi Katiman Jedul di Jalan Sidadadi No 42, Desa Sidadadi, Distrik Wanica, Rabu siang (5/8). ”Kadingaren udan deres (Tumben hujan deras). Apa jalaran ono tamu agung seko Surabaya, yo (Apa karena ada tamu agung dari Surabaya, ya)?” guyon Katiman sesaat setelah mempersilakan saya duduk di teras belakang rumahnya.

Sebelum menemui tamu, Katiman bersama istri, Wakiyem Pariman, tampaknya menyiapkan segala sesuatunya. Misalnya, untuk menunjukkan ”masih” Jawa, mereka berdandan ala orang Jawa zaman dulu. Katiman mengenakan belangkon Solo, sementara istrinya memakai kebaya merah, lengkap dengan perhiasan emasnya.

BACA JUGA: Pelatih Muda Ini Dibuang PSSI, Kini Malah Jadi Direktur Pembinaan di Klub Bahrain

”Dua hari ini badan saya agak enak. Biasanya, untuk bernapas saja ngos-ngosan,” ujar pria 75 tahun itu sambil membetulkan letak duduknya di sofa.

Rumahnya yang cukup besar, berukuran sekitar 20 meter x 30 meter, terlihat bersih dan rapi. Rumah bercat putih itu berada satu kompleks dengan rumah enam anaknya yang didirikan di atas lahan seluas 1,75 hektare. Di belakang rumah Katiman, ditanam pohon buah-buahan seperti rambutan, mangga, jeruk, dan kelapa.

BACA JUGA: Bripda Dody Firdaus, Anggota Sabhara Polda Jatim yang Terkenal di Instagram

”Dulu, waktu masih kuat, saya urus sendiri kebun itu. Tapi, sekarang saya sudah tidak kuat lagi,” tuturnya.

Di belakang rumah itu, juga terdapat garasi mobil. Dua mobil diparkir di tempatnya. Yang satu berjenis jip (Suzuki Katana), satunya lagi berjenis mobil keluarga (Toyota Passo).

”Yang jip itu biasa saya pakai untuk mancing. Yang satunya untuk pergi ke stad (kota, Red),” terang Katiman.

Anak-anakku lan bojo-bojone wis duwe mobil dewe-dewe. Soale, loro-lorone nyambut gawe. Dadi, kudu duwe mobil dewe-dewe (Anak-anak saya dan suami/istrinya punya mobil sendiri-sendiri. Sebab, keduanya bekerja. Jadi, harus punya mobil sendiri-sendiri),” beber generasi ketiga dari nenek moyang yang berasal dari Solo (kakek) dan Purbalingga (nenek) itu.

Sejatinya Katiman tidak hanya memiliki enam anak dari Wakiyem. Dari istri pertama, Ponijah Ardjooetomo, dia dikaruniai seorang anak, Woniyem Katiman. Woniyem (lahir pada weton Kliwon) kini tinggal Jalan Dekrane, tak jauh dari rumah ayahnya.

Di kalangan masyarakat Jawa Suriname, seorang pria memiliki istri lebih dari satu atau menikah beberapa kali sudah bukan rahasia umum. Yang kondisi ekonominya mencukupi ”bisa” mencari pendamping hidup yang lain.

Bahkan, bukan hanya pria, para perempuan yang sudah menjanda pun biasa menikah lagi meski secara umur sudah terbilang tua (di atas 50 tahun). Mereka tidak ingin hidup sendirian di hari tua. Bahkan, ada yang tidak berkeberatan meski menjadi istri simpanan.

Dadi, sing ora nang kene, anakku karo mbok tuwo (Jadi, yang tidak di sini, anak saya dengan istri pertama),” ujar pensiunan pegawai Kementerian Kesosialan dan Perumahan tersebut.

Sedangkan enam anak Katiman dari Wakiyem adalah Wonisah Leginem (lahir pas weton Legi), Worini Ponikem (lahir Pon), Woninten Katiman (lahir Kliwon), Waldi Ratin (lahir Pon), Anita Leginie (lahir Legi), dan Adeline Waginie (lahir Wage). Mereka sudah mentas dan hidup layak dengan keluarga masing-masing.

”Sebelumnya, kami sempat gemas. Soalnya, Waldi tak mau kawin-kawin. Tapi, sekarang sudah lega. Dia sudah dapat jodohnya. Bahkan, langsung punya anak satu,” timpal Wakiyem.

Waldi adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga itu. Dia baru saja beristri seorang janda beranak satu. Anak bawaan istrinya tersebut masih balita (di bawah lima tahun). Kini anak itu dititipkan kepada kakek-nenek barunya tersebut.

Awak dewe melu seneng dikei momongan. Iso dinggo konco (Kami ikut senang diberi momongan. Bisa dijadikan teman),” tutur Wakiyem.

Hanya, meski sudah berkeluarga, Waldi dan istrinya jarang bertemu. Keduanya bekerja dengan jam masuk yang berlainan. Sang istri kerja kantoran, mulai pagi sampai sore. Sedangkan Waldi berangkat kerja tengah hari dan baru pulang tengah malam.

Katiman mengakui bahwa seluruh anaknya sepertinya mengikuti jejaknya saat masih bekerja. Mereka bekerja keras siang malam sampai tidak sempat mengurus rumah.

”Saya dulu berangkat kerja jam lima pagi dan baru pulang jam dua belas malam. Jarang bisa ketemu anak. Jadi, yang ngurus anak-anak semua ibunya,” kata dia.

Pukul 07.00–14.00, Katiman bekerja di kantor. Setelah itu, dia sambung menjadi sopir taksi hingga tengah malam. Itu berlangsung bertahun-tahun.

Sebelum menjadi pegawai negeri, Katiman pernah bekerja di Suriname Aluminium Company (Suralco) selama 13 tahun. Dia lalu memutuskan untuk keluar dari Suralco pada 1977 dan masuk menjadi pegawai pemerintah hingga pensiun di usia 60 tahun. Kini dia bisa menikmati dua gaji pensiun: dari Suralco dan pemerintah. Pensiun itu belum ditambah dengan dana orang tua (AOV) yang diberikan kepada setiap orang Suriname yang berusia di atas 60 tahun. Besarnya SRD 525 per bulan (sekitar Rp 1,5 juta). Karena itu, secara ekonomi, Katiman tidak kekurangan. Apalagi, anak-anaknya kaya.

Saiki aku wis merdiko. Wis iso ngendang dengkul. Le nandur wis iso dipaneni (Sekarang saya sudah merdeka. Sudah bisa duduk manis menekuk dengkul. Tanamannya sudah bisa dipanen),” tambah dia.

Woninten, putri keempat Katiman, misalnya, kini menjadi bos di sebuah perusahaan teknologi informasi (TI) di Belanda. Dia bersuami seorang arsitek. Woninten juga satu-satunya anak Katiman yang berhasil menjadi sarjana dari Universitas Anton de Kom (Universitas Suriname).

Berkat Woninten, pada 2010 Katiman dan istri bisa keliling Indonesia selama sebulan. Mereka mengunjungi Jakarta, Purwokerto, Jogja, Solo, Madiun, Surabaya, Malang, dan Bali. Juga Malaysia dan Singapura. Mereka disenang-senangkan.

Tapi, saiki anakku kabeh wis disekolahke karo kantore dewe-dewe. Aku biyen ora duwe duit kanggo nyekolahke (Tapi, sekarang anak-anak saya sudah disekolahkan kantor masing-masing. Saya dulu tidak punya uang untuk menyekolahkan mereka),” papar dia.

Katiman mencontohkan Wonisah yang bekerja di perusahaan peternakan ayam. Dia dulu sempat berkuliah di Universitas Anton de Kom, tapi sudah keluar sebelum lulus. Dia kini bersuami Sukarlin Sono Sumito, pejabat di Volks Crediet Bank (VCB). Sukarlin juga dikenal sebagai penyanyi top di Suriname.

Begitu pula si ragil Adeline yang sudah menyelesaikan kuliah di Universitas Anton de Kom dan kini bekerja sebagai guru. Kemudian, Waldi dua kali disekolahkan ke Prancis oleh kantornya, perusahaan minyak milik pemerintah, Staatsolie.

Aku mung iso ngaturke matur kesuwun banget marang Gusti. Ing atase ambeganku wis koyo ngene, aku isih diparingi urip lan iso menangi anak-anakku wis dadi kabeh (Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Dalam kondisi napas yang sudah seperti ini, saya masih bisa menyaksikan anak-anak saya menjadi orang semua),” kata kakek enam cucu itu. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Inspirasi Peyek Yekiko, Empuknya Bikin Ketagihan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler