jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PP PERABOI) mengimbau DPR RI meninjau ulang beberapa poin penting dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan.
PP PERABOI menyatakan tidak menolak perubahan yang bertujuan untuk peningkatan pelayanan kesehatan.
BACA JUGA: Respons Bang Saleh soal Kontroversi RUU Omnibus Law Kesehatan
Namun, dalam RUU Kesehatan tersebut ada beberapa hal yang PP PERABOI nilai akan berisiko secara langsung dan tidak langsung terhadap pelayanan dokter kepada pasien.
Di antaranya adalah tentang percepatan pemenuhan Dokter subspesialis melalui program pendidikan berbasis rumah sakit.
BACA JUGA: Menyoal RUU Kesehatan, Pakar Hukum Ingatkan Jangan Sembarangan Gunakan Omnibus
"PP PERABOI memahami bahwa dengan di angkatnya kanker sebagai layanan prioritas, maka dibutuhkan percepatan pemenuhan dokter spesialis dan subspesialis yang menangani kanker," kata Ketua Umum PP PERABOI dr. Walta Gautama, SpB.Subsp.Onk.(K) dalam pernyataan sikap organisasi yang disampaikan secara daring dan luring di Jakarta, pada Kamis (27/4).
Dia menambahkan jumlah pasien kanker padat yang naik setiap tahun masih belum sebanding dengan jumlah dokter ahli Bedah Onkologi yang kurang dari 300 orang di seluruh Indonesia.
BACA JUGA: PPNI dan 4 Organisasi Profesi Kesehatan Tegas Menolak RUU Omnibus Law
dr. Walta Gautama mengungkapkan rencana pendidikan dokter spesialis dan subspesialis berbasis rumah sakit ini berpotensi merugikan masyarakat bila dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa kajian mendalam dan perencanaan matang.
Beban rumah sakit yang besar adalah pada pelayanan dan keselamatan pasien. Beban tambahan untuk mendidik dokter spesialis dan subspesialis berpotensi menurunkan kualitas pelayanan, menurunkan kualitas dokter yang dihasilkan, serta berpotensi merugikan masyarakat.
“Mendidik dokter spesialis dan subspesialis tidaklah seperti memproduksi barang. Tidak cukup dengan memperbanyak fasilitas pendidikan, tetapi juga harus ditunjang dengan kurikulum yang matang dan kualitas tenaga pendidik yang baik,” tutur Walta.
Hal lain yang dipandang PP PERABOI menimbulkan keresahan di kalangan tenaga kesehatan adalah belum adanya kepastian hukum bagi dokter dalam menjalankan profesinya.
Dalam beberapa pasal, ujarnya, memang dinyatakan bahwa pemerintah memberikan perlindungan hukum. Namun, masih ada peluang para dokter dalam menjalankan profesinya akan mengalami kondisi penuntutan berlapis yang tertuang dalam DIM RUU Omnibus Law Kesehatan, yang dinilai PP PERABOI akan berpotensi berkembangnya praktik defensive medicine, yang pada akhirnya juga akan merugikan pasien.
Lebih lanjut dikatakan penyelenggaraan praktik kedokteran selalu berdasarkan pada empat kaidah dasar moral yaitu menghormati martabat manusia (respect for person), berbuat baik (beneficience), tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence), dan keadilan (justice).
Di sisi lain, Walta juga menyampaikan bahwa pelayanan kasus kanker padat yang melibatkan pembedahan berisiko menimbulkan disfigurasi atau kecacatan. Tanpa adanya kepastian perlindungan hukum, ada potensi dokter dituntut pasien yang merasa tidak puas dengan hasil pembedahan.
Kemungkinan adanya tuntutan berlapis mulai dari permintaan ganti rugi, tuntutan pidana dan perdata seperti yang diakomodir dalam pasal 283 RUU Omnibus Law Kesehatan akan menimbulkan praktik defensive medicine.
"PP PERABOI menilai hal ini akan menurunkan kualitas pelayanan kanker dan akhirnya malah merugikan pasien kanker,” tegas Walta.
PERABOI sebagai organisasi profesi yang mewadahi dokter spesialis bedah dan melayani pasien kanker berharap DPR memberikan perhatian khusus dalam pengkajian pasal 243 dan 283 RUU Omnibus Law Kesehatan.
"PERABOI berharap RUU Kesehatan ini dapat disempurnakan dan menjadi dasar hukum untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik," pungkas dokter Walta Gautama. (esy/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Mesyia Muhammad