jpnn.com, JAKARTA - Praktisi Hukum Alfons Leomau menilai KPK Pimpinan Agus Raharjo tidak ada hebat dan istimewanya dalam proses pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut dia, operasi tanggap tangan (OTT) yang dilakukan KPK sekarang bukanlah prestasi yang patut dibanggakan.
“Dari sekian lama bekerja (KPK sekarang, red), tidak ada istimewanya. Kebanyakan perkara yang ditangani berasal dari OTT dan OTT ini kan dari hasil penyadapan. Kalau menyadap orang, kasih saja hansip, pasti ketemu orangnya,” ujar Alfons kepada wartawan usai diskusi publik bertajuk “Pemimpin Baru KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” yang diadakan oleh Forum Lintas Hukum Indonesia di Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019).
BACA JUGA: DPR: Dewas KPK Harus Kredibel
Menurut Alfons, OTT yang dlakukan karena penyadapan tidak membutuhkan strategi khusus. Dalam penyadapan, kata dia, yang terpenting, menyadap nomor-nomor orang yang dicurigai atau diduga terlibat tindak pidana korupsi kemudian mengikuti dan menangkapnya.
"Padahal, yang kita harapkan dari KPK adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan mendalam, salah satunya analisis dokumen sehingga bisa menetapkan orang secara akuntabel dengan alat bukti yang memadai," tandas dia.
BACA JUGA: Ternyata Ini Alasan KPK Belum Gelar OTT Lagi
Orientasinya, kata Alfons, juga jangan hanya fokus pada orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Tetapi, menurut dia, yang terpenting adalah bagaimana mengembalikan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
"Banyak OTT, lalu banyak orang dipenjara, kemudian negara keluarkan lagi uang untuk membiayai orang di penjara. Padahal orientasinya tadi ingin mengembalikan kerugian keuangan negara. Makanya ke depan harus mengutamakan pada pengembalian uang negara, beri sanksi sosial saja kepada korupsi seperti sapu-sapu jalan, pasti malu dan bisa menimbulkan efek jera," terang dia.
BACA JUGA: KPK Ungkap Ada Ratusan Nomor Telepon yang Masih Disadap
Selain itu, menurut Alfons, KPK di bawah pimpiman Agus Raharjo sering menakut-nakuti tersangka atau saksi. Hal ini, kata dia, sudah diungkapkan secara jelas dalam buku yang ditulis oleh Pengacara Kondang terpidana korupsi, Otto Cornelis (OC) Kaligis berjudul 'KPK Bukan Malaikat' yang diluncurkan pada tanggal 7 Desember 2019 kemarin di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Buku itu mengungkap sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPK dalam tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor, berdasarkan pengakuan narapidana kasus korupsi di Lapas Sukamiskin.
“Biasanya kan di dalam praktek-praktek penyidikan hingga sidang, kalau kita baca buku terakhir OC. Kaligis 'KPK Bukan Malaikat' itu agak menakutkan, bagaimana cerita-cerita orang-orang jadi di Sukamiskin itu malah bukan ada efek jera dan tobat, mereka hanya berpikir kapan selesai (jalani hukuman) dan pulang," ungkap dia
Menurut Alfons, seharusnya saksi harus diperlakukan dengan baik karena katerangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang penting. Keterangan saksi, kata dia, sebenarnya membantu KPK untuk mengungkapkan berbagai tindak pidana korupsi.
“Jadi, jangan menakuti-nakuti atau mengancam saksi dengan narasi-narasi yang membuat saksi tidak nyaman memberikan keterangan. Apalagi kalau mendramatisir keberadaan saksi," jelas dia.
Karena itu, Alfons berharap pimpinan KPK baru bisa belajar dari kelemahan KPK sekarang agar tidak jatuh dalam lubang yang sama. Menurut dia, KPK ke depan harus fokus pada upaya pencegahan tindak pidana korupsi agar tidak banyak uang negara yang bocor.
“Penyelidikan dan penyidikan harus mendalam dan akuntabel sehingga tidak cepat-cepat melakukan OTT dan menetapkan tersangka, tetapi harus memiliki alat bukti yang memadai dan memastikan potensi kerugian negaranya. Lalu, KPK yang baru harus melakukan analisis terhadap LHKPN untuk memastikan ada tidaknya harta penyelenggara yang mencurigakan. Jangan didiamkan seperti saat ini," pungkas Alfons.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich