Prefunding Diprediksi Tingkatkan Risiko Utang

Kamis, 07 Desember 2017 – 15:40 WIB
Ilustrasi rupiah dan dolar. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Penarikan utang atau prefunding dalam jumlah besar pada pengujung tahun ini bakal meningkatkan risiko utang.

Tidak hanya terkait dengan kapasitas fiskal pemerintah, tapi juga risiko di pasar keuangan.

BACA JUGA: Pemerintah Terbitkan Global Bond Senilai Rp 54 Triliun

Efek crowding-out alias situasi saat terjadi perebutan dana segar antara pemerintah dan korporasi atau jasa keuangan pun menjadi ancaman.

Ekonom Institut for Development of Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, meski dana yang ditarik tidak berasal dari dana pihak ketiga (DPK) di dalam negeri, risiko crowding-out tetap ada.

BACA JUGA: Waspadai Gejolak Harga Volatile Foods Jelang Akhir Tahun

Sebab, mayoritas pembeli surat utang negara (SUN) adalah investor lokal.

Mereka juga merupakan pemain lama yang memang selalu memborong surat utang, baik berdenominasi rupiah maupun dolar Amerika Serikat (AS).

BACA JUGA: 2 Bulan, Pemerintah Harus Kumpulkan Pajak Rp 425 Triliun

”Berdasar data terakhir, 39 persen pemilik SUN, baik yang denominasi rupiah maupun valas, adalah investor asing. Artinya, 61 persen tetap berasal dari pembeli lokal,” katanya kepada Jawa Pos, Rabu (6/12).

Untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang besar pada awal tahun, pemerintah memutuskan melakukan penarikan utang lebih awal pada Desember.

Pemerintah pun merilis global bond alias surat utang berdenominasi USD dengan total nominal USD 4 miliar atau Rp 54 triliun.  

Bhima melanjutkan, jika pembeli surat utang dengan mata uang dolar AS tersebut adalah pihak yang sama, hal tersebut tetap berisiko menyedot dana domestik.

Dampaknya, imbal hasil surat utang pun akan meningkat.

Itu kontraproduktif dengan target otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan hingga tujuh persen.

Proyeksi tersebut akan makin sulit tercapai. Sebab, untuk mempertahankan dana simpanan, perbankan akan memberikan bunga yang tinggi kepada nasabah.

 ”Jadi, bunga perbankan masih mahal meski BI sudah beberapa kali menurunkan bunga acuannya,” katanya.  

Selain itu, lanjut Bhima, sisi negatif lainnya, pelebaran defisit dipastikan terjadi.

Seperti diketahui, pemerintah menetapkan target defisit APBN 2018 di angka yang cukup optimistis, yakni di kisaran 2,19 persen.

”Otomatis defisit akan melebar karena bunga utang yang harus dibayar otomatis meningkat,” imbuh Bhima.

Sementara itu, Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Alexander Sugandi menuturkan, risiko crowding-out akibat prefunding tidak terlalu besar.

Sebab, menurut dia, dana tersebut diperoleh dari luar negeri. Selain itu, dia menilai, dampak keputusan prefunding tersebut cukup baik untuk cash flow di awal tahun.

Namun, dia mengakui adanya potensi pelebaran defisit di tahun depan.

”Prefunding ini akan dihitung sebagai instrumen utang. Jadi, memang target defisit yang 2,19 persen itu terlalu optimistis karena pasti ada pelebaran,” ujarnya kemarin.

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Scenaider Siahaan menegaskan bahwa upaya prefunding tersebut justru akan menambah likuiditas domestik.

Karena itu, dia membantah bahwa upaya prefunding akan menimbulkan efek crowding-out.

”Ya enggak rebutan lah (antara jasa keuangan dan pemerintah). Lha kan itu menambah likuiditas domestik karena dapat dana dari luar negeri,” ujarnya. (ken/c10/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Realisasi Penyaluran KUR Tembus Rp 69,7 Triliun


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler