jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra merespons langkah Presiden Joko Widodo mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras seperti tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Presiden sebelumnya menyebut, pencabutan dilakukan setelah menerima banyak masukan dan desakan dari berbagai tokoh agama, kelompok masyarakat termasuk aspirasi dari daerah.
BACA JUGA: Presiden Cabut Lampiran Perpres Investasi Miras, Ini Reaksi Senator Filep Wamafma
Yusril menganggap wajar terhadap penolakan terhadap investasi miras tersebut. Pasalnya, Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang meyakini minuman beralkohol sebagai barang haram untuk dikonsumsi.
Keyakinan keagamaan yang dianut oleh mayoritas rakyat, menurut Yusril, wajib dipertimbangkan oleh negara dalam merumuskan kaidah hukum dan kebijakan yang akan diberlakukan.
BACA JUGA: Respons PBNU setelah Jokowi Cabut Perpres Investasi Miras, Ada 3 Hal Penting
"Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita bukan negara sekuler yang tidak mempertimbangkan faktor keyakinan keagamaan dalam membuat norma hukum dan kebijakan-kebijakan negara," ujar Yusril dalam keterangannya, Selasa (2/3).
Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini kemudian mencontohkan negara Filipina yang konstitusinya tegas mengatakan negara itu adalah negara sekuler.
BACA JUGA: Setelah Mendengar Masukan Ulama, Jokowi Cabut Perpres Miras
Meski demikian, faktor keyakinan keagamaan rupanya tetap menjadi pertimbangan Filipina dalam membuat norma hukum dan merumuskan suatu kebijakan.
"Sahabat baik saya, Gloria Arroyo Macapagal dari Partai CMD (Christian-Muslim Democrat) ketika menjabat sebagai Presiden Philipina, telah memveto pengesahan RUU tentang kontrasepsi yang telah disetujui Senat Philipina," ucapnya.
Menurut Yusril, pertimbangan Gloria Arroyo hanya satu hal, Gereja Katolik Filipina menentang keluarga berencana yang dianggap tidak sejalan dengan doktrin keagamaan.
"Kalau di negara yang mengaku sekuler, ternyata pertimbangan keagamaan tetap penting, maka negara yang berdasarkan Pancasila seharusnya berbuat lebih dari itu," ucapnya.
Yusril menegaskan keyakinan keagamaan wajib dipertimbangkan oleh negara dalam merumuskan kebijakan apa pun.
Langkah seperti itu tidak otomatis menjadikan NKRI menjadi negara Islam. Indonesia, kata Yusril, akan tetap menjadi sebuah negara yang berdasarkan Pancasila.
Karena itu, negara wajib mempertimbangkan keyakinan keagamaan rakyatnya dalam membuat norma hukum dan merumuskan suatu kebijakan.
Negara juga berkewajiban memfasilitasi dan memberikan pelayanan terhadap pelaksanaan ajaran-ajaran agama, bukan hanya Islam, tetapi semua agama yang hidup dan berkembang di negara ini, sejauh memerlukan peran dan keterlibatan negara dalam melaksanakannya.
"Dalam Perpres yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan investasi ini, pemerintah seperti 'keseleo lidah' dengan memberikan kemudahan investasi pabrik pembuatan miras, baik PMDN maupun PMA. Asing boleh membuka pabrik dengan modal 100 persen PMA, begitu juga PMDN," katanya.
Yusril lebih jauh mengatakan, sebelum adanya perpres itu, investasi di bidang miras ini dinyatakan tertutup. Kemudian dengan lahirnya perpres yang telah dicabut, perpres dinyatakan terbuka untuk investasi.
Daerah yang dibuka untuk investasi ada empat provinsi. Yakni, Bali, Sulawesi Utara dan Papua.
Daerah lain boleh juga, asal diajukan oleh Gubernur kepada Kepala BKPM.
Ini berarti peluang untuk membuka pabrik miras bisa berdiri di mana saja asal diusulkan melalui Gubernur ke Pemerintah Pusat. Keruan saja, pengaturan dalam lampiran Perpres ini mendapat penolakan dari daerah-daerah yang pengaruh Islamnya sangat kuat.
Yusril juga mengatakan, lampiran Perpres juga membuka investasi untuk penjualan miras. Dalam Lampiran 3 angka 44 dan 45 diatur mengenai dibukanya investasi Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol. Persyaratannya, hanya mengatakan jaringan distribusi dan tempatnya khusus.
"Saya menganggap pengaturan ini keterlaluan. Masa pemerintah mempermudah investasi perdagangan eceran kaki lima minuman keras baik bagi PMA maupun PMDN. Untuk apa ada Penanaman Modal Asing untuk jualan miras di kaki lima? Padahal, perdangan miras seperti ini justru berbahaya bagi kehidupan masyarakat dan semestinya dilarang," katanya.
Yusril menilai, penjualan miras seharusnya dinyatakan tertutup dan diatur dengan perpres tersendiri, bukan dalam Perpres tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
"Saya kira, di negara yang berdasarkan Islam pun, pengaturan bagi kepentingan pemeluk-pemeluk agama selain Islam, akan tetap ada," katanya.
Hak-hak warga negara non-muslim wajib dilindungi dan dijamin oleh negara yang berdasarkan Islam.
"Saya kira di negara berdasarkan Pancasila ini, hal seperti itu pun ada dan dalam praktik telah dilaksanakan, walau masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan disempurnakan," katanya.
Yusril mencontohkan di pasar tradisional di berbagai daerah, biasanya ada kounter khusus untuk menjual daging babi yang diberi tulisan khusus untuk itu.
Tempatnya dibuat sedemikian rupa, nyaman dan tidak mengganggu umat Islam yang tentu tidak ada kepentingannya untuk mampir ke kounter tempat menjual daging babi itu.
"Nah, pengaturan tentang miras pun bisa seperti di atas. Peternakan babi tentu boleh, tetapi dinyatakan tertutup untuk investasi kecuali dengan syarat-syarat tertentu, tempatnya khusus dan tunduk pada syarat-syarat tertentu yang ketat. Sehingga tidak menimbulkan kericuhan antarwarga," katanya.
Begitu juga investasi pabrik miras, Yusril menilai seharusnya dinyatakan tertutup untuk investasi, kecuali dengan syarat-syarat tertentu.
Selain soal investasi, pengawasan ketat terhadap perdagangan miras harus diperketat.
Semestinya, jangankan membuka investasi penjualan miras di kaki lima, menjual miras di kaki lima saja harus dilarang, bukan dipermudah seperti pengaturan dalam lampiran Perpres ini seperti telah saya katakan di atas.
"Syukurlah, ketentuan-ketentuan tentang kemudahan investasi pabrik pembuatan dan perdagangan miras dalam Perpres No 10/2021 cepat dicabut dan dihilangkan oleh Presiden Jokowi. Sekali ini Presiden Jokowi cepat tanggap atas segala kritik, saran dan masukan," tuturnya.
Yusril juga mengakui, Presiden Jokowi biasanya memang tanggap terhadap hal-hal yang sensitif, sepanjang masukan itu disampaikan langsung kepadanya dengan dilandasi iktikad baik.
"Ketentuan-ketentuan lain yang diberi kemudahan investasi dalam Perpres No 10 Tahun 2021 nampaknya tidak mengandung masalah krusial dan serius. Sebab itu tidak ada urgensinya untuk segera direvisi," ucapnya.
Menurut Yusril, dengan adanya pencabutan, maka presiden harus menerbitkan perpres baru yang berisi perubahan atas Perpres Nomor 10/2021, khusus menghilangkan ketentuan dalam lampiran terkait dengan miras.
"Dengan perubahan itu, maka persoalan pengaturan investasi miras ini dengan resmi telah dihapus dari norma hukum positif yang berlaku di negara kita," pungkas Yusril.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang