jpnn.com - Menteri Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) memantik isu kontroversial lagi.
Dalam wawancara dengan Rocky Gerung, Luhut mengatakan bahwa kalau bukan orang Jawa sebaiknya tidak usah memaksa mencalonkan diri menjadi presiden.
BACA JUGA: Luhut Binsar: Siapa Bilang Saya Minta Jabatan Presiden Tiga Periode?
LBP menjawab pertanyaan Rocky mengenai keinginan untuk menjadi Presiden Indonesia.
LBP kemudian menjelaskan bahwa dia menyadari bahwa dia tidak berasal dari etnis Jawa dan mempunyai agama yang bukan Islam.
BACA JUGA: Arief Poyuono: Lumrah Presiden Indonesia Harus Orang Jawa
Etnis LBP yang Batak dan agamanya yang Protestan disebutnya sebagai ‘’dobel minoritas’’ yang tidak memungkinkannya menjadi presiden.
Pernyataan ini langsung disambar oleh politikus PDI Hendrawan Supratikno yang menganggap pernyataan itu tendensius dan kurang bijak.
BACA JUGA: Ganjar Siap Kerjakan PR dari Presiden, Apa Itu?
Menurut Hendrawan, persoalan soal suku sudah harus ditinggalkan dalam konteks kebangsaan.
Kekhawatiran Luhut itu, kata Hendrawan, seharusnya menjadi tantangan yang dihadapi bersama dalam menjalankan program dan literasi politik, serta membangun keadaban demokrasi.
Dalam mimpi kolektif kita sebagai negara bangsa, persoalan asal usul suku dan wilayah, sudah seyogianya kita tanggalkan dan tinggalkan.
Justru fakta demografis dan sosiologis itu harus menjadi tantangan kita, dalam program edukasi dan literasi politik dan keadaban demokrasi yang terus kita bangun. Begitu kata Hendrawan.
Pernyataan Hendrawan ini normatif dan idealis, sementara LBP ingin bersikap realistis.
Dia melihat realitas politik Indonesia masih tetap didominasi oleh konstruksi lama bahwa hanya orang Jawa yang bisa menjadi presiden.
Hal ini sudah menjadi semacam mitos politik yang diyakini oleh banyak orang.
Dalam sejarah Indonesia, 7 presiden yang pernah berkuasa berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam.
Satu-satunya yang tidak beretnis Jawa ialah B.J Habibie yang beretnis Gorontalo berdarah Bugis.
Kepresidenan Habibie dianggap tidak paripurna, karena hanya menjabat selama 2 tahun menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri.
Habibie sebenarnya berniat menjadi calon presiden, tetapi keinginannya kandas karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
Penolakan itu dianggap sebagai upaya penjegalan terhadap Habibie yang ketika itu mendapat dukungan luas dari kalangan pemilih Islam.
Seandainya Habibie tidak dijegal, sejarah Indonesia sangat mungkin berubah, dan mitos presiden Jawa bisa saja dipatahkan.
Akan tetapi, sejarah sudah tertulis, dan mitos sudah tertanam menjadi kepercayaan.
Dalam tradisi Jawa dikenal adanya ramalan Jayabaya, Raja Kediri, yang dikenal dengan sebutan ‘’Jangka Jayabaya’’ yang berisi ramalan masa depan.
Salah satu yang terkenal adalah bahwa bumi nusantara akan dipimpin oleh penguasa yang disebut sebagai ‘’Notonegoro’’.
Secara harfiah, notonegoro atau natanegara berarti menata negara atau memimpin negara.
Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat yang memercayai ramalan itu, notonegoro diinterpretasikan sebagai akronim dari nama-nama penguasa yang bakal menjadi presiden.
Kemudian ‘’No’’ dihubung-hubungkan dengan Sukarno, ‘’To’’ dihubungkan dengan Soeharto, dan seterusnya.
Tentu saja ini ilmu gutak-gatuk alias utak-atik yang tidak ilmiah.
Nama-nama presiden berikutnya tidak berurutan seperti akronim notonegoro, karena presiden berikut setelah Pak Harto adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Akan tetapi, seorang pendukung Gus Dur bercanda bahwa nama Gus Dur masuk dalam Jangka Jayabaya.
Menurutnya, Jayabaya menyebut penguasa nusantara adalah ‘’Notomanconegoro’’.
Berarti, setelah ‘’No’’ kemudian ‘’To’’ setelah itu ‘’Man’’ yang merujuk pada ‘’Abdurrahman Wahid’’.
Tentu saja ini juga sekadar canda politik.
Fakta demografis, sosiologis, dan historis memang menunjukkan dominasi etnis Jawa sebagai etnis terbesar dan berpengaruh.
Bung Karno menjadi presiden pertama dan Mohammad Hatta yang beretnis Minangkabau menjadi wakil presiden.
Ketika itu dua tokoh tersebut memang menjadi pemimpin gerakan perjuangan yang paling menonjol di antara yang lain, sehingga kemudian dipilih secara aklamasi menjadi presiden dan wakil presiden.
Dua tokoh itu disebut sebagai ‘’Dwi Tunggal’’ yang saling melengkapi.
Hatta benar-benar menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepemimpinan nasional, dan tidak sekadar menjadi ban serep bagi Soekarno.
Soekarno selalu berkonsultasi kepada Hatta untuk mengambil semua keputusan-keputusan strategis, dan berbagi tugas-tugas kenegaraan dengan Bung Karno.
Herbert Feith menyebut pasangan ini sebagai kombinasi yang saling melengkapi.
Bung Karno yang jago dalam berorasi dan mempunyai karisma besar untuk mendapatkan pendukung yang luas disebut sebagai ‘’solidarity maker’’.
Bung Hatta yang lebih kalem, cermat, teliti, dan tekun, disebut sebagai ‘’administrator’’. Perpaduan dua tipe pemimpin dianggap ideal.
Kombinasi ini kemudian dianggap sebagai resep ideal untuk menyatukan kekuatan Jawa dan luar Jawa, atau Jawa dengan etnis non-Jawa.
Dalam beberapa kontestasi politik di era pemilihan langsung pasca-reformasi, pola kombinasi ini sering dipakai sebagai strategi pemenangan.
Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan Jusuf Kalla sebagai running mate dan berhasil memenangkan kompetisi pilpres pada 2004. Hal yang sama dilakukan oleh Joko Widodo yang juga menggandeng Jusuf Kalla pada kompetisi Pilpres 2014.
Latar belakang etnisitas sebagai bagian dari identitas politik menjadi bagian tidak terpisahkan dalam percaturan politik modern.
Di Amerika Serikat, sampai sekarang masih tetap ada keyakinan bahwa presiden harus berkulit putih.
Sampai dengan 250 tahun kemerdekaan Amerika, Barrack Obama ialah satu-satunya presiden berkulit hitam.
Selebihnya, semua presiden Amerika Serikat berkulit putih dan beragama protestan.
Bangsa Amerika dikenal dengan identitas WASP atau White Anglo Saxon Protestant, berkulit putih, keturunan anglo saxon Inggris, dan beragama Protestant.
Dominasi kulit putih ini tercermin dalam dominasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Orang kulit berwarna dan berkulit hitam adalah minoritas.
Orang non-Protestan seperti Katolik pun menjadi minoritas di Amerika dan karenanya kesempatan untuk menjadi presiden sangat kecil.
Dalam sejarah 250 tahun kemerdekaan Amerika, semua presiden beragama Protestan.
Satu-satunya yang beragama Katolik adalah John F. Kennedy yang meninggal dibunuh pada 1963.
Presiden Joe Biden sekarang ini beragama Katolik, dan mungkin menjadi presiden pertama Amerika beragama Katolik yang menyelesaikan masa baktinya empat tahun secara tuntas.Amerika Serikat sudah mematahkan mitos politik itu melalui Obama, Kennedy, dan Biden.
Di Indonesia, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tokoh-tokoh dari etnis non-Jawa sekarang sudah banyak yang mempunyai kualitas yang tidak kalah dengan tokoh-tokoh Jawa.
Pernyataan Luhut itu dianggap tendensius, mungkin, karena menyindir Anies Baswedan.
Jamak diketahui, Luhut tidak berada pada barisan yang mendukung Anies, malah sebaliknya Luhut berada di barisan yang berseberangan.
Pernyataan itu diangap sebagai kode keras atau kode lunak kepada Anies supaya tidak memaksa diri menjadi presiden.
Anies sudah sering mendapat serangan berdasar etnis semacam ini.
Akan tetapi, Anies tidak pernah meresponsnya dengan frontal dan konfrontasional.
Anies memang mempunyai darah etnis Arab, tetapi nasabnya dari kakek moyang menunjukkan kualitas nasionalisme yang tulen.
Kakek Anies, Abdurrahman Baswedan ialah pahlawan dan pejuang nasional yang menegaskan integrasi etnis Arab sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia sudah makin cerdas dan pandai menilai kualitas para pemimpinnya sendiri. Mereka mempunyai kedaulatan memilih dan mereka tahu siapa pemimpin yang berkualitas tulen dan siapa yang berkualitas kaleng-kaleng. (*)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror