Prioritaskan Kebijakan untuk Rakyat

Kamis, 13 November 2008 – 23:10 WIB
JAKARTA - Koalisi Anti Utang (KAU) mendesak pemerintah Indonesia untuk mengubah prioritas kebijakan ke arah jaminan sosial bagi rakyatBukan sebaliknya, yang justru merespon krisis dengan aksi bailout sektor perbankan

BACA JUGA: Mabes Polri Akan Periksa Sisno

"Langkah awal yang dinilai tepat adalah memprioritaskan pemanfaatan dana masyarakat yang terhimpun dalam APBN untuk pemenuhan hak dasar rakyat di bidang pangan, kesehatan, pendidikan, energi dan lingkungan akibat krisis
Bukan untuk menanggung kerugian sektor keuangan akibat bisnis spekulasi," kata Koordinator KAU, Dani Setiawan, di Jakarta, Kamis (13/11).

Selain itu, lanjutnya, penentu kebijakan harus berani melakukan kontrol yang kuat terhadap perdagangan pasar uang dan saham (derivative) untuk menekan aksi spekulasi dan tingginya aliran hot money yang bisa mengancam stabilitas ekonomi nasional dan diikuti dengan menasionalisasi industri-industri strategis yang dikuasai asing untuk menghentikan segala bentuk eksploitasi negara-negara maju melalui eksploitasi sumber daya alam.

Desakan lainnya, segera lakukan negosiasi dengan pihak kreditor untuk menghentikan pembayaran utang haram yang didasari oleh kenyataan bahwa seluruh total pembayaran cicilan pokok, bunga, dan biaya yang telah ditunaikan sudah melebihi jumlah utang yang diterima.

"Menolak segala bentuk utang baru dan tidak melibatkan lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia, atau ADB dalam berbagai upaya untuk mengatasi krisis

BACA JUGA: Aji Adukan Sisno ke Kapolri

Karena lembaga-lembaga tersebut ikut bertanggung jawab atas penyebab krisis global," tegas Dani Setiawan.

Langkah tersebut dinilai strategis guna mendorong dilaksanakannya sistem yang mampu membentuk pola hubungan yang adil antar negara-negara di dunia, menghormati prinsip-prinsip kedaulatan ekonomi dan politik, hak asasi manusia, kesetaraan gender, keadilan ekologi, serta menjamin terwujudnya kedaulatan pangan, sesuai amanat konstitusi UUD 1945 demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, ujar Dani.

Dia jelaskan, krisis keuangan dunia yang berawal di Amerika Serikat telah berkembang menjadi ancaman global yang ikut menyeret negara dunia ketiga yang berada pada lantai terlemah ekonomi dunia ikut terjebak di dalamnya.

"Pemerintah Amerika Serikat dan institusi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) gagal mengatasinya
Saat ini mereka meminta seluruh dunia untuk ikut menanggung biaya krisis keuangan global yang bahkan negara berkembang tidak menjadi penyebabnya," kata Dani.

Saat ini, lanjutnya, ancaman pemutusan hubungan kerja menyebar ke seluruh dunia disebabkan oleh deindustrialisasi dan turunnya produksi

BACA JUGA: Enam Dewan Lobar Ngaku Terima Duit

Jumlah ekspor yang menurun tidak hanya karena turunnya permintaan tapi juga aksi setiap negara mengetatkan impor guna menyelamatkan ekonomi negara masing-masingPelarian modal semakin besar karena investor asing ingin menyelamatkan kebutuhan likuiditas di negara asalnya.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan depresiasi mata uang, krisis nilai tukar, dan tekanan inflasi memperbesar efek krisis yang dirasakan negara-negara berkembang, ujarnya"Sayangnya, kebijakan yang diambil sebagai respon terhadap krisis tetap tidak mencerminkan keberpihakan terhadap jutaan rakyat miskinAksi seragam atas injeksi likuiditas di sektor keuangan serta bailout dilakukan untuk "menolong" sektor perbankan dan lembaga-lembaga hedge fund dianggap sebagai obat generik yang mampu mengatasi masalah," kata Dani.

Pemerintah Indonesia, lanjutnya, di bawah tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) bahkan segera melakukan buyback saham dan Surat Utang Negara (SUN)"Kebijakan tersebut hanya berdampak pada semakin kurangnya kerugian yang diderita investor pemegang saham dan surat berharga negara."

Sementara itu, rekomendasi yang diajukan pemerintah Indonesia melalui menteri keuangan dalam forum pertemuan tingkat menteri
negara-negara G20 juga sangat mengecewakanKesepakatan untuk mereformasi Bretton Woods Institution hanya menghasilkan pemberian mandat kepada Bank Dunia dan Bank pembangunan lainnya untuk meningkatkan kapasitas pinjaman melalui "global
expenditure fund."

Dengan kata lain, pemerintah Indonesia telah menunjukan dirinya sebagai "good boy" IMF dan Bank DuniaRekomendasi ini juga perlu diwaspadai sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah menarik pinjaman siaga dari Bank Dunia yang telah memberikan komitmen sebesar USD $2 milyar, ujarnya.

Paradigma neoliberal tidak hanya terbukti telah gagal, sekaligus telah memperlebar jurang kemiskinan karena kemakmuran dan akumulasi kapital hanya terpusat pada segelintir orangNasib masyarakat dunia yang terkena dampak krisis global tidak hanya cukup diserahkan pada segelintir pemimpin negara-negara G20 dan G8.

Skenario penyelamatan dari krisis saat ini harus melalui mekanisme yang adil dan demokratis serta merepresentasikan seluruh negara di dunia dan bukan hanya negara-negara yang menguasai ekonomi duniaKAU mengingatkan, inilah saatnya bagi bangsa ini beralih pada gagasan alternatif bagi sistem politik-ekonomi global yang konsisten pada nilai-nilai keadilan, solidaritas sosial serta kesetaraan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang melihat dari sudut pandang korban, yaitu sekitar 850 juta masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan bukan untuk menyelamatkan aset segelintir pemilik modal(Fas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akbar Masih Setia Pada Golkar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler