jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus menuai kontroversi di kalangan akademisi.
Draf awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga mengenyampingkan kepentingan publik lainnya, yakni, kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat.
BACA JUGA: Guru Besar Hukum USU Sebut Pelabelan BPA Galon Tidak Ada Urgensinya
Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan narasi perlindungan kesehatan publik yang menjadi dasar kebijakan pelabelan BPA tersebut bukan hal urgensi.
“Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng," kata Profeslor Sulaeman dalam diskusi bersama media bertajuk Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi di Jakarta, Kamis (18/11).
BACA JUGA: Pakar Buka Suara soal Wacana Labelisasi BPA pada Galon Air Minum
Dia menjelaskan BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan. Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum.
Jadi, ujarnya, bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dahulu.
BACA JUGA: Wacana BPOM Labelisasi BPA Bikin Gaduh di Masyarakat, Ini Alasannya
Sejumlah fakta yang ada di antaranya kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari AMDK dengan suplai 29 miliar liter per tahun. Sementara menurut data UNICEF hampir 70% sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses.
Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.
Prof Sulaeman memaparkan Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari, yaitu sekitar 8 gelas per hari.
Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga.
Kendati begitu, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi, risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA.
Pada kesempatan sama, Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, mengkritisi narasi yang dibangun tersebut. Dia menyampaikan kebijakan ini cenderung diskriminatif.
“Jadi, kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya," ujar Akhmad.
Terkait bahaya, lanjutnya, harus melihat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh.
Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif. Harus disebutkan tiga faktor lainnya, yakni konsentrasi, populasi, dan lama kontak baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.
Dia menambahkan regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah.
“Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah," terang Ir. Akhmad Zainal.
Tanpa adanya urgensi dan kecenderungan diskriminatif terhadap salah satu kemasan air minum, membuat para ahli seperti Prof. Sulaeman menyimpulkan, kebijakan pelabelan BPA pada galon belum perlu.
“Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu buru-buru. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut,” ujar Prof. Sulaeman. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad