PSM Jadi Motor Penggerak Atasi Masalah Sosial Melalui RBM

Senin, 24 Mei 2021 – 09:38 WIB
Euis, seorang PSM pengelola RBM di Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Minggu (23/5/2021). Foto: Humas Kemensos

jpnn.com, JAKARTA - Salah satu garda terdepan dalam penanganan berbagai masalah sosial di tengah masyarakat adalah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM).

Pendampingan PSM dirasakan betul manfaatnya dengan beragam kegiatan. Misalnya, menginisiasi Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) dan kampung ramah disabilitas dan kampung ramah lanjut usia.

BACA JUGA: Bebaskan 2 ODGJ Korban Pasung di Kuningan, Kemensos Rencanakan Pemberdayaan

Sekira 10 tahun ke belakang, para orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas merasa malu dan menyembunyikan dari orang lain serta kerap dianggap aib keluarga.

Seiring upaya PSM dengan RBM melakukan sosialisasi melakukan pendekatan kearifan lokal dan menggandeng para pihak, lambat laun para orang tua sadar dan percaya diri untuk merawat dan mengatasi anak disabilitas.

BACA JUGA: KSP: Peparnas Ajang Penguatan Hak Berolahraga Bagi Penyandang Disabilitas

“Jadi, PSM itu karena anak sendiri disabilitas selama 18 tahun. Itu menggerakkan saya dan teman-teman yang  peduli bangkit dari rasa malu dan menyembunyikan anak disabilitas jadi percaya diri mengatasinya,” ucap Euis, seorang PSM pengelola RBM di Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Minggu (23/5/2021) siang.

Di atas lahan pinjaman warga, dibangun semi permanen RBM untuk menerapi dan memberikan pendampingan secara rutin oleh PSM terhadap anak dan para orang tua menggandeng yayasan yang peduli anak disabilitas.

BACA JUGA: Menemui Mensos Risma, Nasyiatul Asiyah Siap Berkontribusi Atasi Persoalan Anak

“Suka terharu, kalau ingat dulu saat anak mau terapi harus pergi jauh tetapi kini dengan RBM para orang tua cukup datang sebulan sekali membawa anaknya nanti diterapi oleh terapis yang datang,” ungkap Euis.

RBM mencatat ada 32 anak disabilitas yang rutin diterapi setiap bulan tetapi bergantian atau 13 anak sekali terapi. Para orang tua diberikan penguatan mental agar bisa membantu terapi di rumah masing-masing.

“Para orang tua diberi Pekerjaan Rumah (PR) oleh terapis misalnya cara membuka mulut dengan pijitan-pijitan  ringan di wajah dengan benar, sehingga tidak mengandalkan seratus persen di RBM,” tegas Euis.

Model terapi lain seperti membawa anak disabilitas ke kolam renang untuk stimulus tumbuhkembang anak, misalnya ada disabilitas tidak bisa bergerak normal dan ketika di air kelihatan mimik mukanya bahagia.

“Kondisi mereka yang merasa senang karena ada suasana baru yang bisa menstimulus anak,” ujar Euis.

Tidak berhenti sampai di situ, tahap selanjutnya bagaimana anak-anak disabilitas mendapat hak-hak dasar serta mendapat perlindungan. Sebab mereka punya hak sama dengan anak normal lainnya.

Kendati mempunyai anak disabiltas, Euis pun tak lelah untuk mendampingi orang tua dari Rani, 12 tahun, salah satu anak disabilitas yang sejak delapan bulan dan merasakan perbedaannya usai mendapatkan pendampingan. 

“Rani sebelumnya bergerak pakai punggung seperti gaya kupu-kupu saat berenang. Usai diterapi sedikit demi sedikit bisa bergerak lebih baik,” terang Euis.

Ibu dari Rani pun mengaku kalau dulu suka malu kalau membawa anaknya keluar dan dilihat orang, tapi  sekarang biasa aja malah lebih percaya diri.

“Perubahan mental dirasakan, dulu malu mempunyai anak disabilitas tapi sekarang lebih percaya diri itu hasil dari  pendampingan oleh para PSM dan terapis, ” tuturnya.

RBM juga memberikan layanan memulihkan keberfungsian orang dengan gangguan atau hambatan, baik secara  fisik, mental, psikologis, maupun sosial.

RBM adalah wujud sinergitas dengan mendayagunakan sumberdaya dan potensi dari PSM, dosen, perguruan tinggi, terapis, masyarakat, yayasan peduli disabilitas serta pemerintah untuk mengatasi masalah sosial.(ikl/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler