jpnn.com, JAKARTA - Tokoh nasional Rizal Ramli mengajukan gugatan uji materi atau judicial review (JR) Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat (4/9).
Menurut Rizal, Undang-undang itu hanya melahirkan pemimpin procukong dan ladang pemerasan terhadap anak-anak bangsa yang pengin mengabdi menjadi kepala daerah hingga presiden.
Rizal sendiri didampingi rekannya Abdulrachim Kresno serta kuasa hukum mereka, yaitu Refly Harun.
BACA JUGA: Rizal Ramli Buka Peluang jadi Capres
Pihaknya menyoroti Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatakan, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."
"Mari kita lawan demokrasi kriminal. Supaya Indonesia berubah. Supaya kalau demokrasi amanah bekerja untuk rakyat, bekerja untuk bangsa kita, tetapi demokrasi kriminal bekerja untuk cukong. Bekerja buat kelompok dan agen lainnya," seru Rizal.
Eks Menteri Koordinator Maritim itu mengisahkan, saat menjadi aktivis mahasiswa pernah ditangkap dan dijebloskan ke penjara Sukamiskin.
Hal itu lantaran ia berjuang agar Indonesia terbebas dari otoritarianisme menuju negara demokratis serta bersih dari KKN. Cita-cita tersebut baru tercapai saat Orde Baru tumbang.
Pada mulanya, kata Rizal, era reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi Indonesia.
BACA JUGA: Janda Tebar Pesona, Ada yang Cemburu, Dilampiaskan di Kebun Sawit
Namun belakangan, banyak aturan yang membuat demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal, salah satunya adanya ketentuan mengenai ambang batas untuk menjadi bupati, wali kota, gubernur hingga presiden.
Adanya ketentuan mengenai ambang batas tersebut membuat calon kepala daerah maupun presiden harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapat tiket atau dalam istilahnya menyewa partai.
Untuk maju sebagai calon bupati saja kata Rizal, harus merogoh kocek Rp 30 miliar hingga Rp 50 miliar.
Sementara itu, calon gubernur harus menyewa partai dengan tarif berkisar Rp 100 miliar sampai Rp 300 miliar.
"Presiden tarifnya lebih gila lagi, saya 2009 pernah ditawarin. Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kami partai mau dukung, tetapi kami partai butuh uang untuk macam-macam. Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu Rp 900 miliar. Nyaris Rp 1 triliun. Itu 2009, 2020 lebih tinggi lagi," ungkap dia.
Lantaran membutuhkan biaya tinggi untuk mengikuti pemilu, seorang calon terdesak untuk menerima bantuan dari para cukong.
BACA JUGA: Rizal Ramli Percaya Diri Uji Materi PT 20 Persen Dikabulkan
Akibatnya, setelah terpilih, kepala daerah atau presiden lupa untuk membela kepentingan rakyat dan kepentingan nasional.
"Mereka malah mengabdi sama cukong-cukongnya. Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi kriminal. Ini yang membuat Indonesia tidak akan pernah menjadi negara hebat, kuat, adil dan makmur karena pemimpin-pemimpinnya pada dasarnya itu mengabdi sama yang lain," tegasnya. (tan/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga