jpnn.com, JAKARTA - Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta Dede Rosyada mengatakan, puasa selama Ramadan bukan hanya menahan lapar dan haus.
Puasa juga melatih pengendalian diri dan merasakan penderitaan orang lain.
BACA JUGA: Sebut THR dan Gaji ke-13 Langkah Berani Jokowi di Bulan Suci
Karena itu, puasa juga harus dimaknai untuk menumbuhkan empati guna membangun solidaritas sosial yang kuat.
Hal itu berguna untuk membangun Indonesia yang damai dan berdaulat agar terhindar dari bahaya radikalisme dan terorisme.
BACA JUGA: Suhandi Rindu Suasana Ramadan Bersama Keluarga
“Puasa Ramadan adalah ibadah yang khas. Puasa ini juga untuk memupuk kebersamaan terhadap orang-orang yang berbeda etnis, bahkan berbeda agama,” ujar Dede, Kamis (24/5) .
Dede menjelaskan, umat Islam juga diminta memperbanyak ibadah dan sedekah selama Ramadan.
BACA JUGA: Cerita Bang Sandi soal Tradisinya Umrah di Bulan Ramadan
Sebab, puasa juga melatih umat muslim agar membangun empati, kasih sayang, dan solidaritas kepada sesama.
“Saya kira puasa ini salah satu yang sangat strategis bagi umat Islam untuk mencoba menghayati betul makna puasa ini untuk membangun bangsa lebih besar melalui kebersamaan, apakah orang itu satu agama atau berbeda agama. Ini merupakan bagian yang dibina melalui ibadah puasa ini,” ujar Dede.
Pada akhir Ramadan, sambung Dede, umat Muslim juga diwajibkan membayar zakat fitrah untuk membersihkan diri dan memberi makan orang lain.
“Dengan demikian, sebenarnya bagian dari proses ibadah puasa ini salah satunya adalah bagaimana membangun solidaritas sesama muslim dan dengan orang-orang yang berbeda agama,” ujar peraih gelar Doktor dari McGill University, Kanada, ini.
Menurut dia, puasa juga harus digunakan untuk bersabar agar tidak mudah terpancing aksi-aksi negatif seperti ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoaks).
Apalagi, akhir-akhir ini bangsa Indonesia diguncang dengan beberapa aksi terorisme.
“Tidak hanya bersabar diri, tapi juga menolak terorisme. Walaupun seringkali aksi tersebut menggunakan simbol-simbol agama ketika melakukan aksi terornya, baik dari segi pakaian, ucapan, lafal dan sebagainya, tetapi aksi itu bukanlah agama dan tidak menjadi bagian dari perintah agama,” kata pria kelahiran Ciamis, 5 oktober 1957 itu. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bandara Kertajati Siap Layani Pemudik
Redaktur & Reporter : Ragil