jpnn.com, JAKARTA - Ormas Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Pujakessuma) Nusantara mewaspadai kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam bentuk lain. Secara organisatoris, HTI memang telah mati setelah dibubarkan pemerintah dan kalah di PTUN. Tapi, “arwah” HTI ternyata terus bergentayangan, tak terkecuali pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sumatera Utara (Sumut) 2018 yang akan digelar, Rabu (27/6/2018).
“Kami memang harus waspada. Jangan sampai apa yang terjadi di Jakarta terjadi pula di Sumut. Mereka ini mampu bermetamorfosis, berubah dalam bentuk yang lain,” ungkap Ketua Umum Pujakessuma Nusantara Suhendra Hadi Kuntono dalam rilisnya, Minggu (23/6/2018).
BACA JUGA: KPPOD: Tiga Provinsi Rawan Menyalahgunakan ASN Saat Pilgub
Ia lalu menyebut contoh “arwah” HTI bergentayangan di Pilkada Sumut itu dalam spanduk-spanduk dan baliho-baliho bernada provokatif dan bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan) yang bertebaran di hampir seluruh wilayah Sumut, terutama Medan, tak terkecuali yang terpasang di tempat-tempat ibadah.
“Banyak spanduk dan baliho bernada provokatif dan bernuansa SARA bertebaran. Ini semacam copy paste dari Pilkada DKI Jakarta tahun 2017,” jelas pria low profile kelahiran Medan 50 tahun lalu ini.
BACA JUGA: IPW Tuntut Kapolri Mempertegas Netralitas Polri di Pilkada
Salah satu baliho, menurut Suhendra, bertuliskan, “Larangan memilih/mengangkat kafir sebagai pemimpin lebih banyak daripada larangan berzina, memakan babi, dan meminum khamar/miras”.
“Ini berbahaya karena bisa memecah belah masyarakat Sumut. Jangan sampai polarisasi masyarakat ke dalam dua kubu yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta terjadi pula di Pilkada Sumut. Untuk merukunkan kembali butuh waktu lama,” jelasnya.
BACA JUGA: Ini Seruan MUI terkait Pelaksanaan Pilkada Serentak
Pilkada Sumut 2018 diikuti dua pasangan calon gubernur-wakil gubernur, yakni Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah atau Eramas dengan nomor urut 1, dan Djarot Saiful Hidayat-Sihar P Sitorus atau JOSS dengan nomor urut 2. Erasmas didukung koalisi Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, Partai Hanura, Partai Nasdem dan Perindo. Sedangkan JOSS didukung koalisi PDIP dan PPP. Sihar Sitorus satu-satunya calon non-muslim.
Suhendra mensinyalir, spanduk-spanduk dan baliho-baliho bernada provokatif dan bernuansa SARA tersebut dipasang oleh pihak-pihak yang merasa frustrasi, karena pasangan calon (paslon) yang mereka dukung, Eramas, elektabilitas atau tingkat keterpilihannya kalah dari paslon JOSS. Hal ini terlihat dari hasil sigi sejumlah lembaga survei.
“Program pasangan yang mereka dukung juga tidak lebih baik dari program JOSS, sehingga mereka menggunakan isu SARA untuk mengalahkan JOSS. Ini persis dengan yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta,” paparnya.
Suhendra pun menyesalkan sikap lembek Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumut dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Sumut yang membiarkan spanduk-spanduk dan baliho-baliho bernada provokatif dan bernuansa SARA tersebut bertebaran.
“Harusnya KPUD dan Panwaslu bertindak tegas, melarang pemasangan spanduk-spanduk dan baliho-baliho semacam itu. Kalau sudah terlanjur terpasang, mestinya diturunkan,” tegas mantan Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Indonesia-Vietnam ini.
Ia kemudian mengimbau masyarakat Sumut untuk berpikir cerdas dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam menentukan pilihannya di Pilkada Sumut, dengan menjauhkan diri dari isu-isu SARA.
“Lihat itu Jakarta, sekarang justru banyak kemunduran setelah dipimpin gubernur baru,” tandasnya.(jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masa Tenang, Karolin-Gidot Komitmen Menolak Politik Uang
Redaktur & Reporter : Friederich