jpnn.com, JAKARTA - PT Modern Internasional Tbk (MDRN) enggan keluar dari lantai bursa.
Induk usaha yang menaungi ritel 7-Eleven itu tetap menjadi perusahaan terbuka.
BACA JUGA: Regulasi Ritel Tumpang-tindih, Pengusaha Tagih Revisi Peraturan
Padahal, MDRN telah mengumumkan penutupan seluruh gerai 7-Eleven.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengungkapkan, MDRN memiliki pendapatan selain dari 7-Eleven.
BACA JUGA: Politikus Gerindra Minta Pengelola Sevel Perhatikan Nasib Karyawannya
”Mereka akan datang laporan ke kami. Hari ini atau besok mungkin sudah ada datanya. Mereka enggak mau delisting karena ada pendapatan yang lain,” ungkapnya, Selasa (4/7).
MDRN menjadi pemegang lisensi 7-Eleven di Indonesia sejak 2008 dan berhasil mendirikan 175 gerai di Indonesia.
BACA JUGA: DPR: Larangan Minol di Minimarket Berdampak ke Omzet Sevel
Namun, satu per satu gerai 7-Eleven tutup sejak 2015. Perseroan pun akhirnya memilih untuk menutup seluruh gerai 7-Eleven miliknya.
Itu terjadi setelah rencana akuisisi oleh PT Charoen Pokphand Tbk, perusahaan penyedia pakan ternak asal Thailand yang sukses mengoperasikan 7-Eleven di negeri asalnya, batal.
Tito kini menunggu surat pernyataan resmi dari MDRN soal penutupan gerai 7-Eleven.
Setelah membaca itu, pihaknya akan memanggil manajemen MDRN untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
MDRN tidak wajib melakukan public expose terkait penutupan 7-Eleven.
Namun, jika manajemen MDRN memenuhi panggilan BEI untuk memberikan penjelasan lebih lanjut akan hal itu, Tito akan mengimbau perseroan mau memberikan penjelasan kepada publik.
Harga saham kini berada di level terendah, yakni Rp 50 atau biasa disebut saham gocap.
Padahal, saham MDRN pernah dihargai Rp 13.700 pada November 1995. MDRN pernah melakukan pemecahan nilai saham (stock split).
Sejak 2015 atau sejak gerai 7-Eleven satu per satu mulai ditutup, saham MDRN mulai anjlok di level Rp 180.
Lembaga pemeringkat Fitch menilai, model bisnis yang tidak tepat menjadi penyebab 7-Eleven kalah bersaing dengan ritel lain.
’’Model bisnis dan risiko 7-Eleven sama seperti restoran, menawarkan makanan cepat saji dan bisa duduk berlama-lama dengan akses wifi gratis. Hasilnya, bisnis tersebut bersaing dengan restoran cepat saji dan toko makanan tradisional lainnya yang lebih populer di Indonesia,” urai Fitch dalam rilisnya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan, tutupnya 7-Eleven adalah murni keputusan bisnis, bukan karena desakan pihak mana pun.
”Dalam satu kegiatan usaha, kalau dia terus-menerus merugi, maka pemegang saham atau direksi harus berani cut loss, berani ambil keputusan,” ujar Enggar.
Dia menyebut tutupnya Sevel –sebutan 7-Eleven– menjadi salah satu bukti beratnya persaingan dalam bisnis usaha ritel.
Sebab, banyak usaha baru yang muncul dan menjadi kompetitor bagi para pelaku usaha lama.
”Berat, berat sekali. Pengalaman saya sebagai pengusaha, saya pernah menutup usaha meski tidak sebesar itu,” ujarnya. (rin/agf/c17/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebaran Investor Belum Merata, BEI Gencar Sosialisasi Go Public
Redaktur & Reporter : Ragil