Punya Peran Besar, Petani Kecil Harus Ditingkatkan Kualitas dan Produktivitasnya

Rabu, 22 Desember 2021 – 09:10 WIB
Petani diharapkan melek teknologi guna menghadapi krisis PR. Foto Ilustrasi: Humas Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Petani kecil atau swadaya merupakan aktor penting yang memiliki peran besar dalam rantai pasok komoditas pertanian.

Salah satu contohnya, petani kakao diestimasikan mengelola lahan seluas 1.497.467 Ha. 

BACA JUGA: Di Depan Ganjar dan Petani, Jokowi Tegur Mendag Lutfi Soal Impor Bawang Putih

Sebagai bagian dari rantai pasok, para petani kakao memiliki visi pragmatis dan inspiratif dalam meningkatkan produktivitas komoditasnya bersama seluruh aktor di rantai pasok lainnya untuk mengurangi tantangan terhadap perluasan lahan. 

Dalam praktiknya, proses tersebut membutuhkan pendekatan terpadu di tingkat yurisdiksi dengan cara menyelaraskan tujuan keberlanjutan lingkungan serta pertumbuhan ekonomi pada sebuah wilayah administratif.

BACA JUGA: Petani Temukan Fosil Gading Gajah Purba Sepanjang 1,5 Meter

Pendekatan itu dikenal dengan pendekatan yurisdiksi alias Jurisdiction Approach (JA). 

JA menjadi komponen strategis yang memotivasi partisipasi seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung peningkatan sumber-sumber produksi, khususnya bagi petani kakao.

BACA JUGA: Penerapan PLEK Sangat Membantu Petani Batangkaluku Kembangkan Usaha Tani

Dialog Jurisdiction Collective Action Forum (JCAF) ke-5 menjadi wadah dialog strategis para pemimpin bisnis untuk mengupayakan penerapan bisnis yang berkelanjutan, mendorong perlindungan keanekaragaman hayati dalam sebuah wilayah ekosistem, lanskap hingga yurisdiksi yang berkontribusi pada pencapaian global. 

Serta, merancang Business case, Investment Case dan Policy Brief untuk melihat tantangan dan peluang untuk bisa memobilisasi investasi hijau masuk di sebuah Yurisdiksi yang memiliki komitmen.   

Diprakarsai oleh Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Inisiatif Dagang Hijau (IDH), IPMI Case Centre, Filantropi Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Landscape Indonesia, Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) dan Tropical Forest Alliance (TFA) yang tergabung dalam kolaborasi mengarusutamakan pendekatan yurisdiksi melalui JCAF. 

Sebagai salah satu inisiator JCAF, lead secretariat JCAF, Rizal Algamar melihat dialog yang sudah dilangsungkan selama lima kali melihat ini sebagai bentuk kolaborasi strategis untuk mendorong realisasi investasi masuk ke yurisdiksi yang didorong bersama-sama lintas sektoral oleh para pihak untuk mendukung capaian pemerintah. Baik di Indonesia, maupun di Malaysia. 

"Sebuah apresiasi terhadap komitmen pemerintah dalam pembangunan rendah karbon dan sustainable forest management (SFM) yang tercermin dalam penurunan laju deforestasi yang signifikan. Capaian ini didukung juga oleh kontribusi berbagai pihak," ujarnya dalam siaran pers, Senin (20/12). 

Berbagai pihak itu di antaranya, swasta, baik dari sektor kakao, kelapa sawit, dan forestry. 

Kemudian masyarakat sipil lewat upaya restorasi, inklusivitas petani swadaya dan praktik pertanian berkelanjutan, serta penghargaan hak masyarakat adat. 

Dialog lintas pemerhati dan praktisi Jurisdiksi menjadi penting untuk mendorong akselerasi investasi hijau dan keterlibatan antar pihak untuk mendorong capaian pemerintah, sekaligus solusi konkret atas komitmen pemerintah dalam pencapaian NDC dan menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat.

Sebagai salah satu kolaborator dalam kegiatan ini, Cocoa Sustainability Partnership (CSP) sebagai forum kemitraan multipihak, bekerja bersama dengan anggotanya untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas dan mutu kakao secara nasional. 

"Hal penting yang ingin ditekan dalam pencapaian sebuah kondisi kakao yang berkelanjutan di Indonesia, CSP menggunakan sebuah peta jalan untuk mengukur pencapaian penerapan inisiatif-inisiatif kolektif dari para pihak. Setiap tahunnya, pencapaian tersebut menjadi patokan utama dalam perancangan inisiatif kolektif di masa mendatang," ujar Direktur Eksekutif CSP Wahyu Wibowo.

Ia menambahkan, peta jalan pengembangan kakao berkelanjutan di Indonesia juga telah dikoordinasikan dan disinergikan dengan kebijakan program-program pemerintah di beberapa kementerian terkait.

Selaras dengan hal tersebut, pemerintah menunjukan dukungan arah kebijakan secara nasional lewat pengembangan daya saing koperasi dan petani berdaya saing, inovatif, dan berkelanjutan. 

Kementerian Koperasi dan UKM mengungkapkan memiliki fasilitas untuk meningkatkan kapasitas daya saing teknis bagi Koperasi dan Petani Kecil (UKM). 

Serta, beberapa pelatihan untuk meningkatkan standar, prosedur dan kriteria produk untuk pasar ekspor potensi dan peluang bisnis yang lebih luas dan berkelanjutan. 

Sustainability (keberlanjutan) merupakan prioritas yang harus diperhatikan UMKM karena sustainability dan environmentally friendly product menjadi fokus utama pemerintah untuk memenuhi komitmen dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Di beberapa kabupaten yang terdepan, koperasi menjadi wadah serta peluang petani kecil untuk meningkatkan kapasitas praktik pertanian maupun hasil produk yang berkualitas, sekaligus berpartisipasi dalam rantai pasok. 

Upaya ini menunjukkan kemampuan petani cocoa melalui kelembagaan koperasi dapat memenuhi permintaan global yang konsisten akan komoditas cocoa. 

"Dalam mendorong kuantitas dan kualitas produk UKM, tahun ini kami telah memulai program rumah produksi bersama di Aceh dengan produk nilam, Kalimantan Timur dengan produk biofarmaka, Sulawesi Utara untuk produk olahan kelapa, NTT dengan produk olahan daging sapi, serta Jawa Tengah dengan produk rotan," bebernya. 

Sementara Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dodik Nurochmat mengungkapkan, perguruan tinggi telah menemukan komoditas agroforestry yang sesuai untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. 

"Komoditas agroforestry ini memberikan nilai ekonomi tinggi, pendapatan cepat dan sekaligus sebagai media untuk menjaga hutan," ujar Prof Dodik. 

Kakao, merupakan salah satu tumbuhan yang sesuai karena memerlukan naungan.

"Kami memiliki beberapa model yang sukses dikelola secara berkelanjutan oleh kelompok tani di Sumatera dan Sulawesi. Seandainya ini dipandang cukup baik, mungkin bisa kita kembangkan lebih luas di tempat lainnya," terangnya. 

Salah satu bukti inisiatif pemberian nilai tambah produksi kakao petani adalah dengan pasar biji kakao fermentasi.

Bersama Yayasan Kalimajari, Koperasi Kakao Serta Semaya Samaniya di Jembrana memfasilitasi petani kakao rakyat dengan mengedepankan produksi biji kakao premium. 

Pendekatan gotong royong dalam pola kemitraan dilakukan dengan membangun kolaborasi yang kuat antara petani, koperasi, pasar kakao premium, lembaga perbankan, lembaga penelitian, dan pemerintah. 

"Kolaborasi dan kemitraan seperti ini dipercaya mampu meningkatkan kapasitas petani dan koperasi sebagai ujung tombak implementasi program di tingkatan masyarakat,” ungkap Ketua Koperasi Kakao Serta Semaya Samaniya, I Ketut Wiadnyana,

Selain di Kabupaten Jembrana, Bali, Koperasi Wanita Masagena yang berlokasi di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan berinovasi dalam menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan. 

Pola ini membantu petani untuk mengubah praktek sebelumnya yang memerlukan biaya yang tinggi dan produksi yang kurang optimal. 

"Jika dilihat lebih dalam, praktik pertanian berkelanjutan sebenarnya akan memberikan nilai tambah bagi petani. Posisi tawar petani akan semakin menguat, dan pasar-pasar internasional yang mengedepankan isu keberlanjutan juga akan terbuka lebar,” kata Ketua Koperasi Wanita Masagena, Ayu Antariksa Rombe. 

Pendekatan yang ditempuh koperasi Masagena adalah membangun relasi personal dan komitmen bekerja sama dengan petani.

Pihak industri pengolahan kakao di sisi lain, juga berkomitmen terhadap pengembangan kakao yang berkelanjutan. 

Direktur Bidang Korporat dari Mars, Jeffrey Haribowo yang berpartisipasi sebagai narasumber dalam sesi diskusi menggarisbawahi, kakao adalah komoditas yang memerlukan perawatan intensif.

Untuk itulah kenapa 90 persen kakao di seluruh dunia dikembangkan oleh pekebun rakyat.

"Kami ada karena petani, dan selama keberadaan kami di Indonesia kami melihat dan mendengar langsung tantangan yang kompleks dihadapi oleh para petani kakao," tuturnya. 

Dari situlah, lahir strategi Cocoa for Generations yang memiliki dua pilar utama, yakni Responsible Cocoa Today dan Sustainable Cocoa Tomorrow. 

Melalui strategi ini, Mars berkomitmen untuk mendorong perubahan jangka panjang pada rantai pasokan kakao, membuka peluang baru bagi petani, keluarga mereka dan masyarakat sekitar, sembari memastikan perlindungan sumber daya hutan dan perlindungan anak.

Pemerintah Indonesia memiliki kemampuan besar dalam mengolah komoditas lokal.

Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah mempromosikan komoditas tersebut ke pasar Internasional, mendorong sertifikasi komoditas produksi petani kecil dan mandiri, serta meningkatkan pemberdayaan dan kapasitas daya saing teknis petani kecil dan swadaya dalam konteks koperasi.

Dengan begitu, mereka dapat mengakses pasar Internasional. 

"Korporasi Petani Kecil menjadi payung bagi petani kecil binaan sesuai dengan standar Good Agriculture Practice dan peraturan terkait perdagangan yang bertanggung jawab dan produksi yang berkelanjutan," ujar Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Asep Asmara.

Pertumbuhan pasar internasional dan perdagangan komoditas berkelanjutan saat ini membuka banyak peluang untuk perusahaan petani kecil dengan menerapkan sistem jual beli produk bersertifikat mutu internasional.

Standar praktik pertanian yang baik (Good Agriculture Practice) menuju produksi dan konsumsi yang berkelanjutan diterapkan untuk menciptakan ekosistem rantai pasok yang baik.

Sehingga, perkembangan manusia menuju kesejahteraan dapat dipertanggungjawabkan. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler