Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk menunda Pemilu 2024.

Perintah tersebut tertuang dalam putusan perdata yang diajukan Partai Prima dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum.

BACA JUGA: Pemimpin Jangan Hanya Dilihat dari Survei, Harus Punya Kompetensi Mengurus Negara

"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari."Partai Prima? Partai baru, ya?

Partai Prima atau Partai Rakyat Adil Makmur dibentuk pada 1 Juni 2021 dengan ketua umum Agus Jabo Priyono, mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD).

BACA JUGA: Bupati Bojonegoro Ingatkan Para ASN Jaga Netralitas di Pemilu 2024

Didirikan oleh aktivis yang menentang rezim orde Baru pada zamannya, kepengurusannya sudah hadir di 34 provinsi Indonesia.

Agus mengatakan Partai Prima telah sah sebagai badan hukum dan memiliki surat keputusan pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Desember 2020.

BACA JUGA: Sekda SA Supriono Dilantik Sebagai DP Korpri Sumsel

Mengapa Partai Prima menggugat?

Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam verifikasi administrasi partai politik sehingga dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak dapat mengikuti verifikasi faktual.

“Karena ada proses pemilu yang salah dilakukan KPU. Dari tahap verifikasi administrasi sampai verifikasi faktual,” ujar Wakil Ketua Umum Alif Kamal.

Namun, Partai Prima menemukan jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS ternyata dinyatakan Memenuhi Syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.

Langkah gugatan ke PN diambil Partai Prima sebagai jalan terakhir setelah laporannya ke Bawaslu dan PTUN ditolak.

"Kan memang proses di Bawaslu sama PTUN sudah tertutup nih ceritanya. Sudah ditolak, udah enggak ada jalan lagi, karena itu kita melaporkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU ke Pengadilan Negeri [Jakpus]," kata Alif kepada RMOL.

PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan KPU untuk menunda Pemilu yang seharusnya berlangsung tahun 2024, serta meminta KPU untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp500 juta kepada partai tersebut.Bagaimana reaksi publik atas putusan tersebut?

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menilai, tidak semestinya hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri memutuskan perkara administrasi yang merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Ini kan ilmunya salah ini, sudah jelas Pemilu itu pengadilannya di sana (PTUN) kok dia yang mutus," ujar Mahfud dalam keterangan video di kanal YouTube Kemenkopolhukam, Sabtu (04/03).

Berbeda dengan Mahfud, tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan, mengatakan keputusan Hakim seharusnya dihormati.

"Itu kan hak hukum yang harus kita hormati. Lembaga peradilan ini harus kita hormati, saya hanya mengajak ketika ada orang berperkara masalah hukum, kenapa kita harus protes pada hasilnya?"

Sejumlah aktivis dan ahli hukum juga menyuarakan pendapatnya, yang rata-rata menyayangkan putusan PN Jakarta Pusat.Di mana letak masalahnya?

Senada dengan Mahfud, Fadli Ramadhanil dari Perludem mengatakan, PN Jakpus "tidak memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa administrasi terkait keikutsertaan parpol peserta pemilu dan tidak punya kewenangan untuk menentukan apakah tahapan pemilu bisa ditunda atau tidak."

"Sehingga keputusan ini tidak bisa dieksekusi."

Feri Amsari, direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) menilai PN Jakpus tidak mengerti tahapan-tahapan pemilu yang jika diberhentikan sebagian akan berpengaruh ke tahap berikutnya.

Padahal, pemilu harus dilaksanakan sesuai jadwal karena jika ditunda akan bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi melahirkan rezim otoritarian.Lalu bagaimana?

Alghiffari Aqsa dari kantor pengacara AMAR mengatakan, keputusan ini tidak bisa dieksekusi (non-executable) dengan mengacu pada pedoman hukum perdata.

"Salah satu alasan putusan tidak bisa dieksekusi adalah karena putusan tidak mungkin untuk dilakukan," ujarnya.

"Dari mana dasar bahwa [putusan] ini tidak mungkin untuk dilakukan? Karena kita tidak mungkin melanggar konstitusi dan undang-undang dasar."

Alghif juga berharap, KPU akan menempuh jalur banding atas keputusan ini dan pemilu dapat tetap berlangsung sesuai jadwal.

Menurut keterangan Sekretariat Negara, KPU akan menempuh upaya hukum banding terhadap putusan PN Jakarta Pusat itu.Penundaan pemilu bukan wacana yang baru

Kurnia Ramadhana dari Indonesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan, penundaan pemilu yang kemudian menjadi putusan PN Jakarta Pusat bukan barang baru.

"Dua sampai tiga tahun ke belakang banyak sekali politisi yang menggaungkan wacana penundaan pemilu, misalnya Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dengan big data-nya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Parta Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, lalu Menteri BKPM, lalu baru-baru ini Ketua MPR Bambang Soesatyo."

Maka tak heran, menurut, Kurnia, jika masyarakat berpikir apakah ada kaitan antara wacana-wacana tersebut dengan putusan PN Jakarta Pusat.

Miya Irawati dari Public Virtue bahkan mengatakan, penundaan pemilu ini sudah merupakan upaya berulang sejak 2019.

"Sulit untuk saya tidak mencurigai adanya agenda tersembunyi untuk memperpanjang masa jabatan presiden ... dan narasi penundaan pemilu ini harus dihentikan oleh semua penyelenggara negara dan partai politik."

Kurnia menambahkan, presiden harus turun tangan dalam menengahi silang sengkarut putusan PN Jakpus ini, seperti antara staf KSP dan Menkopolhukam.

"Bukan dalam arti mengintervensi proses hukum, tapi untuk mendukung upaya yang sedang dilakukan oleh KPU untuk banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta."

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Persiapan Mengawal Pemilu 2024, Brimob Polda Kalsel Asah Kemampuan Urban Warfare Personel

Berita Terkait