Hanya dalam waktu sepekan, Rahaf al Qunun berubah dari seseorang yang bersembunyi di sebuah kamar hotel di bandara Bangkok menjadi salah satu pengungsi yang paling dikenal dunia saat ini. Perjuangan Rahaf al-Qunun

BACA JUGA: Me too terpilih jadi Word of the year 2018 di Australia

Setelah mendarat di Toronto (Kanada) hari Sabtu, Rahaf dalam 48 jam terakhir berusaha melihat kembali apa yang terjadi pada dirinya selama sepekan terakhir.

Gadis berusia 18 tahun tersebut melarikan diri dari keluarganya di Saudi, ketika mengunjungi Kuwait sebelum terbang ke ibukota Thailand, Bangkok, 5 Januari.

BACA JUGA: Kanada Kecam Hukuman Mati Terhadap Warganya di China

Dia memiliki visa valid untuk mengunjungi Australia namun ditahan oleh pihak imigrasi Thailand segera setelah dia mendarat dalam penerbangan dengan Kuwait Airlines.

Setelah diberitahu bahwa dia akan dipulangkan dengan paksa ke Arab Saudi, remaja putri ini bersembunyi di dalam kamar hotelnya untuk menghindari deportasi dan mengirimkan cuitan di Twitter mengenai apa yang terjadi dengan dirinya.

BACA JUGA: Singapura Akan Larang Pasangan LGBTI Adopsi Anak

"Saya memperkirakan mereka akan masuk ke kamar hotel dan menculik saya." katanya dalam wawancara dengan ABC.

"Itulah mengapa saya menulis surat perpisahan. Saya memutuskan akan bunuh diri, sebelum mereka bisa memaksa saya kembali ke Arab Saudi."

Dalam wawancara pertama sejak dia meninggalkan Bangkok, Rahaf menjelaskan alasan mengapa dia melarikan diri dari Arab Saudi dan meninggalkan semuanya untuk memulai hidup baru di luar negeri.

"Saya ingin bebas dari tekanan dan depresi. Saya ingin menjadi independen." katanya.

"Saya tidak akan bisa menikah dengan seseorang yang saya cintai. Saya tidak bisa mendapat pekerjaan tanpa ijin dari orang lain."

"Pemerintah Saudi menentukan garis kehidupan perempuan, pekerjaan apa yang bisa dijalankan, kegiatan apa yang bisa dilakukan."

"Perempuan bahkan tidak bisa bepergian sendiriian."

Dalam sistem yang dikenal dengan nama mahram di Saudi, perempuan seperti Rahaf tidak memiliki hak hukum untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri seperti membuat paspor, tanpa persetujuan laki-laki dalam keluarganya.

Menurut lembaga HAM Human Rights Watch, di banyak daerah perempuan Saudi masih dianggap sebagai anak-anak dari sisi, tanpa memandang usia mereka, hal yang bertentangan dengan hukum internasional.Ini bisa menjadi awal dari perubahan

Di bulan Mei 2018, Atab Saudi mulai melakukan tindakan memberangus pegiat hak perempuan, dengan menahan belasan pegiat perempuan ternama yang telah lama berjuang untuk menghapuskan sistem mahram di negeri itu.

Kelompok HAM menuduh rejim Saudi menyiksa, dan melakukan penganiayaan fisik dan seksual terhadap para perempuan yang ditahan tersebut.

Rahaf al-Qunun mengatakan dia ingin menggunakan kebebasan yang dirasakannya sekarang untuk berjuang bagi hak perempuan di Arab dan menghapuskan sistem marham yang didukung dan diterapkan oleh rejim Saudi. Video: Rahaf Mohammed al Qunun talks about her family disowning her, and what it's like being a woman in Saudi Arabia (ABC News)

"Saya kira jumlah perempuan yang melarikan diri dari cengkraman pemerintah Saudi dan juga penyiksaan akan meningkat, khususnya karena tidak ada sistem untuk bisa menghentikan mereka." katanya.

"Saya yakin akan ada lebih banyak perempuan akan melarikan diri. Saya berharap apa yang terjadi dengan saya akan mendorong perempuan lain untuk berani dan bebas."

"Saya berharap cerita saya akan membuat adanya perubahan terhadap aturan, karena sudah begitu terbukanya dilihat dunia."

"Ini bisa menjadi agen perubahan."Remaja ini sudah tidak diakui sebagai keluarga

Ayah Rahaf memegang posisi penting sebagai gubernur di Arab Saudi dan kemarin keluarganya mengeluarkan pernyataan publik mengatakan remaja putri ini 'memiliki mental yang tidak stabil' dan tidak diakui lagi sebagai keluarga.

"Kami adalah keluarga Mohammed El Qanun di Arab Saudi." kata pernyataan tersebut.

"Kami tidak mengakui lagi 'Rahaf Al-Qanun' anak perempuan yang jiwanya tidak stabil yang menunjukkan tindakan yang menghina dan memalukan."

Keluarga itu menyatakan dukungan terhadap 'kepemimpinan yang bijak dari Raja Sulaiman Bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Mohammed Bin Salman".

"Bagaimana keluarga saya tidak mengakui saya lagi hanya karena saya ingin bebas dan melarikan diri dari tindakan mereka." kata Rahaf.

"Ini membuat saya sedih." Photo: Rahaf Alqunun (kanan) bersama dengan reporter ABC Sophie McNeill. (ABC News)

Rahaf mengakui bahwa tidak semua permohonan pencari suaka diproses secepat dalam kasus yang dialaminya, dan dia mengatakan bersmpati dengan jutaan pengungsi yang berada di seluruh kawasan Timur Tengah.

"Hidup saya dalam bahaya, namun saya beruntung saya permohonan saya dikabulkan dengan cepat." katanya.

Remaja putri ini pada awalnya sangat gembira ketika Australia mengatakan akan memproses permintaan suakanya.

Dia mengunjungi kedutaan Australia di Bangkok hari Rabu, dan sampai hari Jumat permohonannya masih diproses.

Dengan kekhawatiran akan keamanannya semakin meningkat dan tidak ada kabar jelas kapan Australia akan mengambil keputusan, UNHCR kemudian mengajukan kasusnya ke Kanada dan visanya segera diproses dalam waktu beberapa jam saja.

Rahaf membantah pernyataan pihak berwenang Thailand bahwa dia memilih Kanada dibandingkan Australia.

"Ini bukan pilihan saya, ini adalah keputusan PBB." katanya.

"Yang saya inginkan adalah sebuah negara yang mau melindungi saya. Jadi pilihan saya adalah negara mana saja yang mau melindungi saya."

Lihat berita ini dalam bahasa Inggris di sini

BACA ARTIKEL LAINNYA... Petenis Australia Tampil Memukau Di Putaran Pertama Australia Open

Berita Terkait