jpnn.com - WARGA Bali patut berbangga. Salah seorang legenda dari Pulau Dewata, Raja Badung VII, almarhum I Gusti Made Agung mendapat anugerah dari pemerintah sebagai pahlawan nasional. Gelar itu diberikan Presiden Joko Widodo, pekan lalu.
Natalia Fatimah Laurens, Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Luar Biasa! Pianis Muda Indonesia Ini 3 Kali Mengguncang Carnegie Hall, New York
Sejak dulu Made Agung sudah terkenal di Bali karena dia menentang penjajahan Belanda dengan cara yang berbeda. Cicitnya, Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi mengungkapkan, buyutnya tersebut berjuang lewat karya sastra.
Dia membangkitkan semangat perjuangan rakyatnya lewat tulisan-tulisannya. “Saya ingat leluhur saya itu meninggal waktu masih muda. Beliau sangat tidak senang pada Belanda,” ujar Ratmadi.
BACA JUGA: Kisah Pendiri Brimob yang Akhirnya jadi Pahlawan Nasional
Beberapa karya sastra dari Raja Badung VII yang terkenal adalah Geguritan Dharma Sasana, Niti Raja Sasana, Nengah Jimbaran, Kidung Loda, Purwasensara Kakawin Atlas, dan Hredaya Sastra.
Ratmadi bertutur, sejak diangkat menjadi Raja Badung pada 1902 silam, buyutnya sudah langsung menolak untuk melanjutkan isi Perjanjian Kuta antara raja-raja di Bali dengan pemerintah Kolonial Belanda yang ditandatangani pendahulunya pada 13 Juli 1849.
BACA JUGA: Kamar Tidur Presiden di Istana, Beda Bantal tapi Pernah Satu Tempat Tidur
Saat itu, Made Agung menganggap isi perjanjian itu sangat merugikan kemerdekaan kerajaan-kerajaan di Bali. Ditambah dalam perjanjian itu, kolonial boleh ikut campur dalam internal kerajaan Bali, sehingga ia tegas menolaknya.
Pria yang dikenal dengan sapaan Cok Rat itu mengatakan, kepemimpinan Made Agung terbilang singkat yaitu 1902-1906. Namun, ia masih dikenang rakyat Bali hingga saat ini. “Banyak orang menyukai tulisan karya sastranya,” imbuh Cok Rat.
Berbagai perlawanan dilakukan Made Agung untuk mengusik keberadaaan Belanda di wilayahnya. Sebagai budayawan dia juga menentang larangan pemerintah Belanda terhadap pelaksanaan upacara ‘Mesatye’ atau pengorbanan bunuh diri permaisuri dalam upacara pembakaran jenazah Raja Tabanan pada 25 Oktober 1903.
Penentangan ini membuat hubungan antara Kerajaan Badung dan pemerintah Belanda semakin memburuk. Belanda yang dibuat panas oleh sang raja pun tak tinggal diam. Belanda memanfaatkan terdamparnya kapal dagang Sri Kumala di Pantai Sanur pada 27 Mei 1904 untuk mengadu domba Kerajaan Badung dan menyebut kerajaan itu melakukan perampokan itu.
Raja pun gerah dengan tuduhan tersebut. Dia menolak membayar ganti rugi yang dituntut Belanda. Penolakan itu membuat Belanda mengganas dan melakukan blokade ekonomi terhadap Kerajaan Badung selama kurang lebih 2 tahun. Sayangnya, blokade itu tidak meruntuhkan perjuangan Raja Badung VII. Pada September 1906 Belanda dibuat kesal akibat berbagai cara yang dilakukan tidak bisa menaklukkan Raja Badung VII.
Belanda kemudian membentuk pasukan di bawah pimpinan Jenderal Mayor M.B. Rost van Tonningen untuk menyerang kerajaan itu.
I Gusti Made Agung. Foto: repro-Natalia Fatimah Laurens/JPNN.com
Tak gentar, sang raja yang mencintai karya sastra itu akhirnya menghadapi pasukan Belanda dengan berperang. Bersama rakyat Badung, ia memimpin pertempuran menggempur pasukan Belanda tersebut. Made Agung akhirnya gugur dalam pertempuran pada 20 September 1906.
“Beliau bersama rakyat kemudian berperang, yang kemudian disebut Puputan Badung. Beliau rela gugur di medan perang demi kemerdekaan masyarakat Bali," kata Cok Rat berapi-api.
Cok Rat mengaku, buyutnya sudah berpesan pada semua pewarisnya untuk mempertahakan kemerdekaan bangsa dan menegakkan keadilan untuk masyarakat.
Cok Rat juga mengucapkan terima kasih pada pemerintah yang telah memberikan anugerah pahlawan nasional pada leluhurnya tersebut. “Pokoknya tidak boleh ada penjajahan di muka bumi ini,” tandasnya. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cara Rocker Erix Soekamti "Bersedekah" Dirikan DOES University
Redaktur : Tim Redaksi